Polemik Aturan Baru Pencairan JHT
RIAUMANDIRI.CO - Aturan terbaru mengenai pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan menuai polemik. Pemerintah berdalih, aturan baru itu tujuannya untuk mengembalikan khitah JHT sesuai undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) No.40 Tahun 2004.
Aturan pencairan dana JHT yang terbaru tertuang dalam Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 yang dikeluarkan Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah.
“Sejak awal JHT dipersiapkan untuk kepentingan jangka panjang, karena untuk kepentingan jangka pendek juga ada, pekerja yang mengalami situasi cacat permanen, meninggal dunia atau pindah ke luar negeri semua telah memiliki hak jaminan sosial dengan ketentuan-ketentuan khususnya,” ungkap Menaker dalam keterangannya, Senin (14/2).
Dikatakannya, Permenaker ini dikeluarkan setelah mempertimbangkan hasil kajian dan hasil diskusi maupun konsultasi dengan berbagai pihak.
Pihak dimaksud antara lain dewan jaminan sosial nasional, forum lembaga kerjasama tripartit nasional, rapat antar kementerian dan lembaga baik dalam rangka koordinasi maupun harmonisasi peraturan dan lain sebagainya.
Permenaker ini juga mempertimbangkan adanya perkembangan di bidang perlindungan sosial saat ini, yaitu lahirnya program jaminan kehilangan pekerjaan atau JKP sebagai program jaminan sosial yang khusus untuk menangani resiko PHK, di mana dalam bulan Februari ini bisa dinikmati manfaatnya.
Selain itu, juga ada berbagai macam program bantuan yang bersifat jangka pendek yang dikeluarkan pemerintah untuk membantu meringankan beban masyarakat.
Dalam beleid yang diundangankan pada 4 Februari 2022 itu, terdapat satu pasal yang menjadi sorotan, yaitu dalam pasal 3. Disebutkan bahwa manfaat JHT baru dapat diberikan saat peserta BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) berusia 56 tahun.
Pasal tersebut dinilai merugikan para pekerja, terlebih bagi pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebelum usia 56 tahun. Sebab mereka harus menunggu usia 56 tahun untuk dapat mencairkan dana JHT.
Penolakan terhadap aturan baru pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan itu pun muncul.
Bukan Dana Pemerintah
Salah satunya dari Ketua DPR RI, Puan Maharani. Ia meminta pemerintah meninjau ulang Peraturan Menteri Tenaga Kerja atau Permenaker Nomor 2 tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua atau JHT.
Ia menegaskan, kebijakan itu sesuai peruntukan JHT, namun tidak sensitif dengam kondisi masyarakat.
"Perlu diingat, JHT bukanlah dana dari Pemerintah melainkan hak pekerja pribadi, karena berasal dari kumpulam potongan gaji teman-teman pekerja, termasuk buruh," kata Puan, Senin (14/2).
"Kebijakan itu sesuai peruntukan JHT, namun kurang sosialisasi dan tidak sensitif terhadap keadaan masyarakat khususnya para pekerja," imbuhnya.
Puan menilai, Permenaker Nomor 2 tahun 2022 memberatkan para pekerja yang membutuhkan pencairan JHT sebelum usia 56 tahun. Apalagi dalam kondisi pandemi Covid-19, tak sedikit pekerja yang kemudian dirumahkan atau bahkan terpaksa keluar dari tempatnya bekerja.
"Banyak pekerja yang mengharapkan dana tersebut sebagai modal usaha, atau mungkin untuk bertahan hidup dari beratnya kondisi ekonomi saat ini. Dan sekali lagi, JHT adalah hak pekerja," tutur Puan.
Puan menyebut, meski para pekerja yang terdampak PHK (bisa memanfaatkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), hal tersebut dianggap tidak cukup. Puan menilai, JKP bukan solusi cepat bagi pekerja yang mengalami kesulitan ekonomi.
"Program JKP sendiri baru mau akan diluncurkan akhir bulan ini. Untuk bisa memanfaatkannya, pekerja yang di-PHK harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang prosesnya tidak sebentar," sebutnya.
Salah satu kriteria bagi penerima manfaat JKP adalah dengan membayar iuran program JKP 6 bulan terturut-turut selama 12 bulan dalam 24 bulan saat masih bekerja. Belum lagi dana yang diterima pun tidak bisa langsung seperti layaknya JHT.
"Lantas bagaimana dengan pekerja yang kemudian mengalami PHK untuk 24 bulan ke depan dan membutuhkan dana? Mereka tidak bisa langsung menerima manfaat JKP, tapi juga tidak bisa mencairkan JHT," beber Puan.
Mantan Menko PMK ini pun menilai, subsidi atau bantuan sosial dari Pemerintah tidak bisa menjadi jawaban utama untuk masyarakat yang terkena dampak PHK. Selain karena program tersebut belum bisa menjangkau seluruh korban PHK, subsidi dan bansos bukan solusi jangka panjang.
Buruh Ancam Unjuk Rasa
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal mengecam keras Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 2022 yang menyebutkan bahwa manfaat JHT akan diberikan 100 persen pada peserta BPJS Ketenagakerjaan setelah mencapai usia 56 tahun.
“Bilama dana JHT tidak bisa dicairkan ketika buruh ter-PHK dan harus menunggu usia pensiun maka buruh tidak punya pendapatan ketika dia ter-PHK”, ujar Said Iqbal saat diwawancarai wartawan Senin (14/4).
Menurutnya, dana JHT adalah pertahanan terakhir bagi buruh jika mengalami PHK sebelum usia pensiun.
Presiden KSPI menilai Permenaker itu tidak tepat di tengah kondisi pandemi yang berdampak pada menurunnya pendapatan buruh dan rentan terancam pemutusan hubungan kerja.
KSPI akan menggelar demonstrasi di depan gedung Kementerian Ketenagakerjaan jika aturan tersebut tidak dicabut.
“Kami meminta segera Menteri Tenaga Kerja mencabut Permenaker No.2 Tahun 2022 tentang pencairan JHT. (Jika tidak) Puluhan ribu buruh dalam waktu dekat akan aksi depan kementerian ketenagakerjaan dan di seluruh Indonesia,” tegas Said.
Diimbau Ajukan Uji Materi UU SJSN
Labor Institute Indonesia menyarankan Serikat Pekerja/Serikat Buruh Indonesia untuk melakukan uji material UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Hal dinilai lebih baik ketimbang mempersoalkan Permenker no.2 tahun 2022 tentang pencairan Jaminan Hari Tua (JHT).
"Menurut Labor Institute Indonesia ada 4 aspek yang menurut kami tentang implementasi Permenaker tersebut," kata Sekretaris Eksekutif Labor Institute Indonesia Andy William Sinaga dalam keterangan tertulis di Jakarta, belum lama ini.
Keempat aspek tersebut antara lain, pertama, secara yuridis, Permenker 2 tahun 2022 sudah sesuai dengan Pasal 35 dan 37 UU SJSN junto PP nomor 46 tahun 2015. Sehingga jika serikat pekerja tidak setuju uji materi dulu UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Menurut Labor Institute Indonesia, dari sisi UU SJSN tersebut Menaker sudah benar mengikuti UU SJSN dan PP 46/2015 Tentang Penyelenggaran Program Jaminan Hari Tua," ungkap dia.
Kedua, secara sosiologis, menurut informasi yang dihimpun Labor Institute banyak pemimpin SP/ SB terutama dalam Forum Tripartit Nasional menyatakan setuju mengembalikan pencairan JHT sesuai UU SJSN,
Ketiga, secara filosofis, Permenaker 2/2022 memastikan pekerja yg memasuki usia pensiun memiliki tabungan sehingga tidak jatuh ke jurang kemiskinan di masa tua.
"Artinya ketika kawan pekerja sudah tidak produktif lagi, dan memasuki usia pensiun dapat menikmati Jaminan Hari Tua (JHT}," ungkap Andy.
Keempat, secara ekonomi, uang buruh di JHT diinvestasikan dgn imbal hasil lebih tinggi dari imbal hasil deposito biasa, dan jangan takut hilang karena sesuai UU BPJS uang buruh dijamin APBN.
Masalahnya pemerintah harus mengatur jaminan atas pekerja yang kehilangan pekerjaannya, saat ini pemerintah mulai memperkenalkan JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan), aturan atau implementasi JKP ini harus jelas terhadap kawan-kawan Pekerja yang kehilangan pekerjaannya.
"Artinya mekanisme pekerja dalam mendapatkan JKP ini harus lebih dipermudah, kalau memang BPJS Ketenagakerjaan sebagai pengelola JKP ini, BPJS Ketenagakerjaan perlu membenahi birokrasi dalam mendapatkan JKP tersebut, agar tidak perlu berbelit-belit," tutup dia.(lp6, mdc, dbs)