PTUN dan Mandat Palsu
Tak habis kata untuk melukiskan konflik yang menimpa internal Partai Golkar, kubu Aburizal Bakri (ARB) versus kubu Agung Laksono (AL). Tak hanya peristiwa politik, juga peristiwa hukumnya yang terjadi dari hari ke hari semakin melebar dan menjalar ke mana-mana.
Gugatan ARB sedang bergulir di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) perihal keabsahan Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) Yasonna H Laoly yang menetapkan kubu AL lah yang sah secara hukum. Namun secara bersamaan, Mabes Polri menetapkan pula dua tersangka dari kubu AL perserta munas Ancol perihal mandat palsu.
Penetapan tersangka tersebut kemudian ditanggapi oleh Menkum HAM dengan menyatakan bahwa SK yang dikeluarkannya itu tidak ada kaitannya dengan surat mandat palsu.
Melalui uraian di atas, disoalkan di dalam artikel ini, bagaimana pandangan hukum administrasi perihal pemalsuan mandat tersebut? Apakah penetapan tersangka tersebut menguatkan gugatan ARB di PTUN? Apakah kubu AL semakin disudutkan? Atau dalam bahasa lain apakah penetapan tersangka tersebut dapat dijadikan pertimbangan oleh hakim PTUN?
Di dalam pandangan hukum administrasi, keabsahan sebuah SK dapat dilihat dari dua aspek, yaitu kewenangan pejabat untuk mengeluarkan SK dan tidak adanya cacat yuridis.
Untuk membuktikan berwenang atau tidaknya seorang pejabat untuk mengeluarkan SK, maka dapat digunakan tiga parameter. Pertama, parameter ratione materiane. Hal ini berkaitan dengan obyek kewenangan. Misalkan, seorang bupati tidak ada kewenangan untuk mengeluarkan surat keterangan kesehatan. Sebab hal itu merupakan kewenangan dari dokter.
Kedua, parameter ratione locus. Ini berkaitan dengan wilayah. Misalkan, Bupati Kampar tidak ada kewenangan untuk menge
luarkan surat pembongkaran rumah di Kabupaten Rokan Hulu.
Ketiga, parameter ratione temporis. Ini berkaitan dengan waktu. Misalkan, tidak ada kewenangan Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengeluarkan SK terkait pemerintahan. Sebab SBY hari ini sudah habis masa tugasnya.
Mencermati tiga parameter di atas, SK yang dikeluarkan oleh Menkum HAM tidak ada soal. Dari sisi ratione materiane, kepengurusan partai memang dikukuhkan melalui SK Menkum HAM. Dari sisi ratione locus, juga kompetensi Menkum HAM, bukan menteri lain. Kemudian dari sisi ratione temporis, memang Menkum HAM hari ini adalah Yasona H Laoly.
Kendatipun demikian bukan berarti SK tersebut langsung dapat dikategorikan sebagai SK yang sah begitu saja. Untuk itu, juga dilihat dari aspek lain yaitu SK tersebut tidaklah cacat secara yuridis. Parameter cacat yuridis ini ada tiga. Pertama, salah kira. Misalkan, yang dibutuhkan adalah dosen hukum administrasi, namun SK yang dikeluarkan adalah SK dosen hukum pidana. Kedua, paksaan. Di mana SK yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kehendak pejabat yang mengelurkan. Misalkan, SK yang dikeluarkan itu karena pejabat yang bersangkutan ditodong dengan pistol. Ketiga, tipuan. Ini berkaitan dengan tipu muslihat dan kepalsuan yang kemudian dijadikan dasar untuk mengeluarkan SK. Misalkan, SK yang lahir dari dokumen-dokumen palsu.
Mencermati aspek cacat yuridis ini, pandangan Menkum HAM yang menyatakan pemalsuan surat mandat tidak ada kaitannya dengan SK yang telah dikeluarkannya itu adalah tidak tepat. Sebab proses menentukan hasil.
Di sisi yang lain, penetapan dua tersangka oleh Bareskrim perihal mandat palsu tersebut semakin menguatkan gugatan ARB yang sekarang sedang bergulir di PTUN. Secara bersamaan, hal ini semakin menyudutkan kubu AL. Tentu saja hal ini menjadi pertimbangan khusus dan petunjuk bagi PTUN. Sebab PTUN sebelum memutuskan obyek perkara juga harus melihat apakah ada indikasi atau tidak cacat yuridis SK Menkum HAM tersebut.
Sebagai Perbandingan
Sebuah institusi penegak hukum termasuklah PTUN bilamana mempertimbangkan kebijakan yang telah diambil oleh institusi penegak hukum lainnya, bukanlah hal yang ganjil atau aneh. Malahan ini semakin menguatkan kebijakan yang akan diambil, kendatipun penetapan tersangka oleh Bareskrim adalah ranah pidana. Sedangkan PTUN adalah ranah administrasi.
Sebagai perbandingan, misalkan MK dalam pertimbangan hukumnya melalui Putusan Nomor 196-197-198/PHPU.D-VIII/2010 dalam perkara permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (pemilukada) Kota Jayapura, Provinsi Papua Tahun 2010 merujuk putusan institusi lain, yaitu putusan PTUN. Di mana Hendrik Worumi-Pene Ifi Kogoya melalui SK Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak ditetapkan sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kemudian yang bersangkutan menggugat ke PTUN. Berdasarkan putusan PTUN, KPU diminta untuk mengikutsertakan Hendrik Worumi-Pene Ifi Kogoya sebagai calon kepala daerah wakil kepala daerah Kota Jayapura pemilihan tahun 2010.
Ironisnya, KPU tidak mengindahkan putusan PTUN tersebut. Akhirnya diselenggarakanlah pemilukada Kota Jayapura 2010 tanpa diikuti oleh pasangan Hendrik Worumi-Pene Ifi Kogoya. Ketika itu KPU menetapkan calon nomor urut 4, Jan Hendrik Hamadi-Lievelin L. Ansanay sebagai pasangan terpilih.
Seperti halnya di daerah lain, pasangan calon yang kalah juga menggugat ke MK. Namun ada sedikit beda untuk gugatan kali ini. Dimana yang tidak termasuk calon kepala daerah pun (bakal calon), Hendrik Worumi-Pene Ifi Kogoya juga menggugat ke MK.
Berdasarkan putusan MK Nomor 196-197-198/PHPU.D-VIII/2010, MK memutuskan pemilukada ulang dan meminta KPU Kota Jayapura untuk mengikutsertakan Hendrik Worumi-Pene Ifi Kogoya yang sebelumnya tidak ditetapkan oleh KPU sebagai pasangan calon.
Salah satu pertimbagan utama MK mengikutsertakan Hendrik Worumi-Pene Ifi Kogoya adalah karena ada putusan PTUN yang meminta KPU menetapkan Hendrik Worumi-Pene Ifi Kogoya sebagai pasangan calon, namun KPU tidak mengindahkannya.***
Oleh: Wira Atma Hajri SH, MH - Dosen Ilmu Hukum UIR, Alumnus Magister Hukum UII Yogjakarta dengan Predikat Cumlaude.