Presidential Threshold: Kebebasan vs Stabilitas
RIAUMANDIRI.CO - Sejumlah kelompok masyarakat belakangan ramai-ramai menggugat aturan mengenai presidential threshold alias ambang batas pencapresan. Politikus Partai Gerindra Ferry Juliantono hingga mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menghapus aturan yang tercantum dalam UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu tersebut.
Sejak awal, aturan mengenai presidential threshold telah membelah pendapat masyarakat dalam dua kelompok besar. Para penentangnya menilai presidential threshold menghalangi hak politik warga negara sebagaimana dijamin dalam konstitusi.
Sebaliknya mereka yang mendukung berargumen presidential threshold dibutuhkan untuk menyaring capres sehingga diperoleh yang berkualitas.
Berawal dari Amendemen Ketiga UUD 1945
Aturan mengenai presidential threshold bermula sejak amendemen ketiga UUD 1945 pada 2001. Pasal 6, salah satu pasal yang diamandemen mengatur bahwa presiden terpilih harus mendapat dukungan 50% jumlah suara partisipan pemilu dan 20% suara di setiap provinsi dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Berdasarkan hal itu, DPR menyusun aturan baru tentang presidential threshold yang mulai diterapkan pada pemilihan langsung pertama (juga berdasarkan amendemen ketiga) pada 2004
Berubah di Setiap Pemilu
Setiap lima tahun, besaran angka presidential threshold selalu menjadi perdebatan sengit di luar dan di dalam parlemen. Pada Pemilu 2004 dan 2009, ambang batas ditetapkan pada angka 15% atau setara 20% perolehan kursi di DPR berdasarkan UU Nomor 23/2003.
Pada 2014 presidential threshold ditetapkan sebesar 20 perolehan kursi di DPR atau 25% perolehan suara nasional pemilihan anggota legislatif. Hal ini diatur dalam UU Nomor 42/2008. Pada Pilpres 2019, berlaku UU Nomor 7/2017 di mana angka presidential threshold ditetapkan sama dengan 2014.
Bedanya, bila acuan Pilpres 2014 adalah Pileg 2014, Pilpres 2019 tidak bisa mengacu pada Pileg 2019 karena dilakukan berbarengan. Sehingga ambang batas pencapresan 2019 menggunakan hasil Pileg 2014 sebagai acuan. Dan, aturan ini juga akan berlaku pada Pilpres 2024 bila tidak ada revisi UU Nomor 7/2017.
Kebebasan versus Stabilitas
Diskursus mengenai presidential threshold pada dasarnya adalah perdebatan antara wacana kebebasan dengan wacana stablitas politik. Para penentang presidential threshold umumnya menganggap aturan ini menghambat hak setiap warga negara untuk bisa dipilih menjadi presiden yang dijamin konstitusi.
Sebaliknya, mereka menuding presidential threshold sebagai akal-akalan kelompok kepentingan politik-ekonomi untuk mengatur siapa yang akan menjadi presiden. "Agar majelis hakim konstitusi yakin bahwa ini adalah kehendak kita bersama bukan segelintir elite, bukan kehendak kelompok masyarakat tertentu tetapi karena kita semua untuk bisa mendapatkan mekanisme pilpres yang lebih fair lebih demokratis lebih kompetitif dan lebih memungkinkan untuk memilih pemimpin yang jujur amanah dan berkualitas," kata Refly Harun menjelaskan alasannya kembali menggugat ketentuan presidential threshold di Mahkamah Konstitusi dalam video yang dikutip, Selasa (7/12).
Di sisi lain, kelompok pendukung bersikukuh bahwa bagaimana pun juga presidential threshold sangat penting untuk menjaga stabilitas politik. Syarat presiden terpilih memang telah diatur di dalam konstitusi, tetapi bagaimana menyaring calon presiden sebelum ”disajikan” untuk dipilih masyarakat juga penting.
"Saya berpendapat ya bahwa presidential threshold itu harus tetap ada. Karena jika tidak ada, maka para calon itu tidak akan tersaring. Ketika tidak ada presidential threshold, maka semua orang bisa masuk begitu, dan ini bisa mengakibatkan kericuhan, keributan, riuh rendah yang tidak perlu,” kata Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Nurul Arifin, Rabu (15/12).