Kisah Korban Selamat dari Kejaran Awan Panas Gunung Semeru
RIAUMANDIRI.CO - Puncak Abadi Para Dewa, sepenggal lirik lagu yang ditulis oleh grup band Dewa 19 berjudul Mahameru, bisa menjadi gambaran betapa istimewa Gunung Semeru, gunung tertinggi di Pulau Jawa.
Judul Mahameru itu sendiri merupakan sebutan untuk puncak gunung yang memiliki ketinggian 3.676 meter dari permukaan laut (mdpl). Gunung Semeru, juga memiliki julukan lain yang bermakna dalam, yakni Paku Pulau Jawa.
Jonggring Saloko, sebutan untuk kawah Gunung Semeru, pada 4 Desember 2021 memuntahkan material vulkanik disertai awan panas. Amarah yang meletus dari Puncak Abadi Para Dewa itu, menghancurkan sejumlah wilayah yang ada di kaki gunung di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Kawasan Umbulan, Dusun Sumbersari, Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo Kabupaten Lumajang, merupakan salah satu wilayah terdampak semburan awan panas dan material vulkanis Gunung Semeru.
Salah seorang saksi mata yang merupakan warga Dusun Sumbersari, Jali (50) mengatakan bahwa meletusnya Gunung Semeru hampir merenggut nyawanya. Saat itu, Jali harus menyelamatkan diri dan berlindung material abu vulkanik yang menghujani kawasan itu.
"Saya beruntung melihat ke arah Semeru. Pada saat akan mengambil motor, saya tidak bisa melihat apa-apa. Saya berjalan kaki dan menutup mata, sudah tidak lagi berharap hidup," kata Jali.
Dahsyatnya letusan Gunung Semeru kali ini, menyisakan jejak kehancuran di permukiman dan area pertanian yang selama puluhan tahun menjadi tempat bergantungnya hidup ratusan warga Umbulan. Sebanyak 20 hektare lahan pertanian rusak diterjang lahar Gunung Semeru.
Selain itu, puluhan rumah yang berjajar di kawasan Umbulan, menjadi saksi bisu kuatnya letusan Gunung Semeru yang terjadi pada pukul 15.20 WIB itu. Rumah-rumah itu, sebagian hancur total tertimbun material vulkanik, namun ada juga bertahan meski kondisinya tak sempurna.
Rumah-rumah itu, berdiri puluhan tahun dan hidup berdampingan dengan sang raksasa Semeru yang hingga kini berdiri tegak tanpa lawan. Namun kini, rumah-rumah itu hanya tersisa sebagian. Rumah itu, tak lagi mampu menjadi tempat tinggal yang aman bagi warga sekitar.
Usai letusan terjadi, ada sejumlah warga yang memutuskan untuk kembali ke rumah atau sisa dari bangunan rumah mereka. Mereka hanya terdiam saat melihat rumah yang ditinggali selama puluhan tahun itu, lenyap tertimbun material vulkanik.
Semeru Terdiam Sejenak, Sebelum Muntahkan Lahar
Salah seorang warga Dusun Sumbersari, Girah (35), bersama ayah, ibu, suami dan anaknya kembali titik dimana dahulu rumah mereka berdiri. Ia bersama keluarganya, mencoba untuk menyelamatkan sejumlah barang berharga yang tertinggal.
Saat kawah Jonggring Saloko bergemuruh, Girah mencari suaminya yang saat itu sedang bekerja untuk mengambil pasir. Suami Girah, berada pada jalur banjir lahar pada erupsi Gunung Semeru kali ini. Ia dan keluarga, akhirnya selamat dan dalam kondisi sehat.
"Saat itu saya berlari mencari suami saya, saya berteriak, tidak usah bekerja. Kemudian, orang-orang berlarian, gunungnya meletus," ujarnya sembari berkaca-kaca.
Letusan kali ini, merupakan letusan yang memberikan dampak paling besar pada wilayah Umbulan. Pada tahun-tahun sebelumnya, gunung tertinggi di Pulau Jawa itu juga mengalami erupsi, namun tidak memberikan dampak yang dahsyat seperti yang terjadi saat ini.
Sementara warga lainnya, Sirun (75) juga menjadi saksi dahsyatnya letusan Gunung Semeru kali ini. Pada saat kejadian, ia tengah berada di rumah. Semeru beberapa kali mengeluarkan asap, dan sempat terdiam sejenak sebelum akhirnya memuntahkan lahar.
Saat itu cuaca di Umbulan mendung, Sirun mengingat betul kejadian yang merusak rumahnya itu. Bersama warga lainnya, Sirun dan istri serta anaknya, berusaha untuk menyelamatkan diri mengendarai sepeda motor miliknya.
"Saat meletus, saya berada di rumah. Semeru sempat terdiam sejenak, kemudian cuaca mendung. Saya takut untuk kembali ke sini," kata Sirun.
Rumah Sirun masih berdiri dengan menyisakan luka. Kaca rumah miliknya pecah, sebagian tertutup abu vulkanik. Bagian belakang bangunan rumah miliknya hancur. Ia bersama anak dan sejumlah relawan berusaha mengambil sepeda motor miliknya yang tertimbun reruntuhan.
Kasian (50) warga terdampak letusan Gunung Semeru lainnya, juga bernasib serupa. Rumahnya hancur, tidak lagi bisa ditempati. Saat ini ia dan keluarganya tinggal di pengungsian yang ada di Posko Pengungsian Sekolah Dasar Negeri (SDN) 4 Supiturang.
"Saya tidak tahu harus bagaimana dan berharap apa. Rumah saya rusak, hanya bisa pasrah," ujarnya.
Menjauh untuk Selamat
Warga terdampak letusan Gunung Semeru tersebut, memiliki satu keinginan yang sama, tinggal di tempat yang aman namun tetap berdampingan dengan gunung tertinggi di Pulau Jawa itu. Masyarakat, tetap bergantung nasib pada Semeru.
Girah, Sirun dan Kasian sama-sama merasa takut untuk kembali tinggal dalam jangkauan gunung yang memiliki kawah berjuluk Jonggring Saloko itu. Namun, mereka tetap berharap bisa bekerja sebagai petani di lahan-lahan yang ada di sekitar wilayah tersebut.
Keterikatan masyarakat dengan Gunung Semeru tidak mudah untuk dilepaskan begitu saja. Hidup selama puluhan tahun dan bergantung pada tanah subur di sekitar gunung tersebut, merupakan satu-satunya cara mereka untuk bertahan hidup dan menggapai impian mereka.
Namun, meskipun memang tidak mudah untuk menjauh dari Semeru, keselamatan selalu menjadi hal yang utama. Ketiganya, berharap pemerintah bisa segera melakukan langkah relokasi warga yang terdampak letusan Gunung Semeru.
"Kalau dipindahkan, saya tentunya mau, takut berada di sini. Tapi, saya berharap tidak terlalu jauh dari sini, yang penting aman dan paling penting saya tetap bisa bekerja di dekat Semeru," kata Kasian.