Herry Wirawan Diduga Larikan Dana Santri untuk Mesum di Apartemen
RIAUMANDIRI.CO - Ada dugaan penggelapan dana bantuan siswa dari pemerintah oleh guru pesantren di Bandung bernama Herry Wirawan (36) untuk menyewa penginapan guna melakukan perbuatan asusila alias mesum.
Kepala Kejati Jawa Barat, Asep N Mulyana mengatakan dugaan-dugaan tersebut didapat setelah pihaknya melakukan penyelidikan dan pengumpulan data.
"Kemudian juga terdakwa menggunakan dana, menyalahgunakan yang berasal dari bantuan pemerintah, untuk kemudian digunakan misalnya katakanlah menyewa apartemen," kata Asep, di Bandung, Kamis (9/12/2021) dikutip dari CNN Indonesia.
Namun, kata dia, kini pihaknya pun masih fokus terhadap perkara HW yang tengah ditangani dan masuk ke ranah pidana umum. Sehingga dugaan penggelapan dana untuk asusila itu perlu didalami lebih lanjut.
"Di samping ada perkara pidum nanti akan melakukan pendalaman terkait itu," kata dia.
Dalam perkara tersebut, Asep memastikan pihaknya bakal menuntaskan kasus itu secara komprehensif. Sehingga, kata dia, tindakan kejahatan seperti itu dapat dicegah dan tidak terulang kembali.
"Ini untuk memastikan penanganan tuntas tidak sepotong-sepotong dan komprehensif," kata dia.
Adapun HW yang kini berstatus sebagai terdakwa karena telah memasuki proses peradilan, terancam hukuman 20 tahun penjara akibat perbuatannya.
HW disebut melakukan tindakan asusila kepada 12 orang santriwati hingga membuat hamil dan melahirkan. Kejaksaan menyebut HW telah melakukan perbuatan tersebut sejak 2016 hingga awal 2021.
Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung terus mendampingi para korban asusila para santri yang dilakukan pimpinan salah satu yayasan pesantren di Kota Bandung berinisial HW (36).
Pendampingan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) itu dilaksanakan sejak awal Juni 2021 lalu. Adapun kasus yang menjerat HW, oknum guru ngaji di salah satu pondok pesantren tersebut sedang memasuki proses persidangan.
Wali Kota Bandung Oded M. Danial mengatakan, sejak kali pertama kasus ini terkuak pada akhir Mei 2021 lalu. Ia langsung memerintahkan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) untuk mengawal kasus asusila ini.
"Waktu itu saya langsung tugaskan Bu Rita (Kepala DP3A) untuk mengawal penanganan. Saya minta agar psikologis korban dijaga dan dilindungi," kata Oded di Bandung, Kamis (9/12).
Oded menjelaskan, psikologis para korban menjadi fokus DP3A. Bukan hanya akibat kejadian yang dialaminya, namun jangan sampai anak mengalami perundungan. Karena informasi yang bermunculan berpotensi memperbesar risiko trauma hingga depresi.
"Saya juga sudah ingatkan pendampingan ini harus ekstra. Apalagi ini remaja di usia sekolah yang masih memiliki masa depan yang harus dijaga. Saya sudah tekankan semua hak-haknya bisa terpenuhi," ungkapnya.
Oded juga berharap agar proses hukum yang sedang berjalan saat ini bisa menghasilkan keputusan seadil-adilnya. Sebab perbuatan HW sudah sangat mencederai nilai sosial, agama, bahkan kemanusiaan.
"Seharusnya institusi pendidikan adalah lembaga untuk menempa karakter anak. Apalagi guru agama, seharusnya mampu untuk menguatkan moral muridnya bukan malah merusaknya," katanya.
Sementara itu, Kepala DP3A Kota Bandung Rita Verita memastikan telah bergerak dengan UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Provinsi Jawa Barat terkait langkah strategis yang akan dilakukan oleh Pemkot Bandung.
Pada Juni lalu, tim DP3A juga telah berkoordinasi dengan orang tua korban untuk melakukan penjemputan tiga orang santriwati asal Kota Bandung yang tercatat sebagai peserta didik di pondok pesantren tersebut.
"Kami langsung menjemput, tapi ternyata yang baru bisa diizinkan keluar satu anak," kata Rita.
Rita menambahkan, dua orang santriwati masih belum bisa dijemput secara bersamaan untuk menuntaskan sejumlah administrasi. Namun tak lama kemudian sudah bisa dijemput.
"Beberapa minggu kemudian kami menjemput dua anak. Salah satunya dari dua anak ini adalah saksi kunci karena sebagai korban," ungkapnya.
Setelah dijemput, lanjut Rita, tim DP3A langsung mengembalikan anak kepada para orang tuanya. Kemudian DP3A terus mendampingi dan membimbing secara intensif.
Sesuai Perda Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Perlindungan Anak, Rita terus memberikan bimbingan dan konseling secara rutin sampai kesehatan psikologis anak kembali membaik.
"Tugas kami dari DP3A sebetulnya yaitu penjemputan, pendampingan, konseling sampai psikisnya baik. Sekarang sudah masuk ranah hukum, tapi kita tetap lakukan pendampingan. Korban juga terus berkomunikasi. Terakhir juga mengabarkan kalau sudah masuk sidang," ujarnya.
Perihal hak-hak pendidikan para korban, Rita menyebutkan, telah berkoordinasi dengan Kementerian Agama Kota Bandung. "Hak-haknya sudah difasilitasi oleh Kemenag, seperti mendapatkan sekolah kembali," katanya.