Sanksi Pelecehan Seksual Bisa Dicopot dari Jabatan
RIAUMANDIRI.CO - Dugaan pelecehan seksual oleh salah satu Dekan Universitas Riau (UNRI), Syafri Harto terhadap mahasiswi bimbingan skripsinya mendapat sorotan berbagai pihak. Salah satunya Kemendikbudristek.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek, Nizam mengatakan pihaknya tidak menoleransi kekerasan seksual di lingkungan kampus.
"Saya belum mendapat laporan hal tersebut. Yang jelas, Kemendikbudristek tidak menoleransi kekerasan di perguruan tinggi, terutama kekerasan seksual," kata Nizam seperti dikutip dari detiknews pada Senin (08/11/2021).
Sebelumnya, Kemendikbudristek telah merilis Permendikbudristek Nomor 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi pada akhir Oktober lalu.
Dalam bab ketiga pasal 10 tentang penanganan, kampus wajib melakukan empat hal dalam menanggapi kasus pelecehan seksual. Keempatnya secara umum adalah pendampingan, perlindungan, pengenaaan sanksi administratif, serta pemulihan korban.
Mengenai sanksi administratif, hal ini dijelaskan dalam pasal 13 Permendikbudristek 30/2021. Sanksi tersebut dikenakan pada pelaku yang terbukti melakukan kekerasan seksual. Keputusannya juga akan ditetapkan oleh pemimpin perguruan tinggi berdasarkan rekomendasi dari satuan tugas.
Universitas membentuk satuan tugas sebagai bagian dari pencegahan kekerasan seksual dalam hal penguatan tata kelola.
Sanksi administratif terbagi menjadi ringan, sedang, dan berat. Sebagaimana pasal 14 ayat 2, sanksi ringan berupa:
Teguran tertulis atau pernyataan permohonan maaf tertulis dan dipublikasikan di internal kampus atau media massa.
Dalam pasal 14 ayat 3, disebutkan sanksi sedang adalah pemberhentian sementara dari jabatan, tanpa mendapat hak jabatan atau pengurangan hak sebagai mahasiswa berupa skors, pencabutan beasiswa, dan pengurangan hak lain.
Sedangkan sanksi administratif berat dijelaskan pada ayat 4 pasal 14, pelakunya akan mendapatkan pemberhentian tetap sebagai mahasiswa atau
pencopotan tetap dari jabatan pendidik tenaga kependidikan atau warga kampus, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan dari kampus bersangkutan.
Kendati demikian, sanksi yang lebih berat juga bisa dijatuhkan oleh pimpinan perguruan tinggi. Faktor yang dapat memberatkan adalah korban merupakan penyandang disabilitas, dampak kekerasan seksual yang didapat korban, dan/atau
terlapor/pelaku adalah anggota satuan tugas, kepala prodi, atau ketua jurusan.
Pelaku yang telah menyelesaikan sanksi administratif ringan dan sedang akan diwajibkan melakukan konseling yang ditunjuk satuan tugas. Pembiayaannya juga dibebankan pada pelaku.
Nantinya, laporan hasil konseling akan digunakan pimpinan perguruan tinggi untuk memberi surat keterangan bahwa pelaku sudah melaksanakan sanksi tersebut.
Perguruan tinggi yang tidak melaksanakan pencegahan dan penanganan pelecehan seksual juga akan diberi sanksi administratif, yaitu penghentian bantuan keuangan atau sarana dan prasarana, penurunan tingkat akreditasi.