Dugaan Suap RAPBDP 2014 dan RAPBD 2015, SF Hariyanto dan Muflihun Serahkan Dokumen 

Dugaan Suap RAPBDP 2014 dan RAPBD 2015, SF Hariyanto dan Muflihun Serahkan Dokumen 

RIAUMANDIRI.CO - SF Hariyanto dan Muflihun, dua dari 6 saksi yang dipanggil Tim Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi pada Kamis (28/10). Kepada penyidik, keduanya menyerahkan dokumen yang dimintakan, dalam kapasitas mereka masing-masing.

SF Hariyanto adalah Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Riau. Sementara Muflihun adalah Sekretaris DPRD Provinsi Riau. Mereka dipanggil terkait dugaan korupsi yang melibatkan mantan Gubernur Riau, Annas Maamun.

Annas merupakan tersangka dugaan korupsi berupa suap terkait pembahasan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (RAPBD-P) Riau 2014 dan RAPBD Riau Tahun 2015. Guna melengkapi berkas perkaranya, sejumlah pihak dipanggil.


"Hari ini (kemarin,red) pemeriksaan saksi TPK (Tindak Pidana Korupsi,red) Suap Pembahasan RAPBDP TA 2014 dan atau RAPBD TA 2015 Provinsi Riau," ujar Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK Ali Fikri, Kamis siang.

Selain SF Hariyanto dan Muflihun, para saksi yang dipanggil saat itu adalah H Suwarno, PNS Kepala Sub Bagian Anggaran II Biro Keuangan Setdaprov Riau, Syahril Abu Bakar, Ketua PMI Provinsi Riau, Wan Amir Firdaus, Asisten II Ekonomi Pembangunan Setdaprov Riau, dan M Yafiz, Kepala Bappeda Provinsi Riau.

"Pemeriksaan dilakukan di Kantor Direktorat Reskrimsus Polda Riau, Jalan Pattimura Nomor 13 Pekanbaru," imbuh Ali Fikri.

Dikonfirmasi, Sekdaprov Riau, SF Hariyanto membantah jika dirinya diperiksa penyidik lembaga antirasuah. "Siapa yang sebut saya diperiksa?," tanya pria yang akrab disapa Yanto itu.

"Saya tidak diperiksa. Saya hanya menyerahkan dokumen yang diminta KPK," sambung mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Riau itu.

Menurut Yanto, dirinya menyerahkan dokumen dalam kapasitasnya sebagai Sekdaprov Riau. "Karena saya menjabat sebagai Sekdaprov, jadi mereka (penyidik, red) memintanya (dokumen) kepada saya," jelas Yanto.

Lanjut dia, jika menjalani pemeriksaan, tentu dirinya akan dicecar sejumlah pertanyaan oleh penyidik KPK. Namun saat itu, tidak ada.

"Kalau diperiksa itu kan ditanyai sejumlah pertanyaan. Tapi saya tidak ada, saya hanya sebentar untuk menyerahkan dokumen. Berita acaranya juga ada," pungkas Yanto.

Senada, Sekretaris DPRD Riau Muflihun juga menyampaikan hal yang sama. "Iya. Biasa, minta berkas," singkat pria yang akrab disapa Uun itu.

Sehari sebelumnya, KPK memanggil Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Riau, Jonli. Lalu, mantan anggota DPRD Riau periode 2009-2014, Suparman dan Rusli Efendi. Lalu, mantan Kabag Protokol Setwan DPRD Riau, Fuadilazi, Kadisnaker dan Transmigrasi Riau, Jonli, Pegawai BPBD Riau, Eka Putra dan mantan Plt BPBD Riau, Said Saqlul Amri. 

Namun dari informasi yang didapat, pemeriksaan terhadap Suparman belum menjalani pemeriksaan karena yang bersangkutan tengah berada di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Bandung, Jawa Barat (Jabar). 

Tak hanya itu saja, penyidik juga telah memanggil Johar Firdaus, Kirjuhari, Gumpita, HM Johar Firdaus, Iwa Sirwani Bibra, Riki Hariansyah, dan Solihin Dahlan. Mereka semua adalah anggota DPRD Riau Periode 2009-2014. 

Dalam kasus ini, sejumlah anggota DPRD Riau kala itu juga terseret dan sudah divonis. Yaitu, Johar Firdaus, Suparman, Kirjuhari.

Untuk Johar dan Suparman dihukum selama 6 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan, serta hak politiknya dicabut selama 5 tahun.

Suparman dan Johar Firdaus didakwa menerima uang suap dan janji atas pembahasan APBD. Johar menerima uang Rp155 juta dan janji pinjam pakai mobil dinas sedangkan Suparman menerima janji pinjam pakai mobil dinas.

Tindakan itu dilakukan keduanya bersama Kirjauhari dan mantan Gubernur Riau Annas Maamun. Dalam kasus ini, Kirjuhari sudah divonis 4 tahun penjara.

Selain perkara itu, Annas Maamun juga terjerat perkara suap alih fungsi hutan Riau. Dalam perkara itu dia dihukum selama 7 tahun penjara. Pada Oktober 2019 lalu, dia mendapat grasi dari Presiden Joko Widodo dengan pengurangan hukuman selama 1 tahun.

Lalu pada 21 September 2020, Annas dikeluarkan dari sel tahanan Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat (Jabar). Sekembalinya ke tengah masyarakat, kiprah politik mantan Bupati Rokan Hilir (Rohil) itu belum berakhir. Dia masih menjadi magnet tersendiri bagi partai politik lainnya, selepas dari Partai Golongan Karya (Golkar) dengan bergabung ke Partai NasDem pada Rabu (13/10) kemarin.

Perkara suap alih fungsi lahan, ini bermula saat KPK melakukan operasi tangkap tangan pada 25 September 2014 di rumah Annas Maamun di Cibubur, Jakarta Timur bersama 9 orang lainnya. Dalam kasus suap alih fungsi hutan 140 hektare di Kabupaten Kuantan Singingi, KPK menyebut Annas menerima Rp2 miliar.

Majelis hakim Pengadilan Tipikor Bandung memvonis Annas hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan. Di tingkat kasasi, hukuman Annas menjadi 7 tahun. 

Majelis hakim menyatakan Annas terbukti menerima suap sebesar US$ 166,100 dari Gulat Medali Emas Manurung dan Edison Marudut. 

Gulat dan Edison meminta area kebun sawit di Kabupaten Kuantan Sengingi seluas 1.188 hektare, Bagan Sinembah di Kabupaten Rokan Hilir seluas 1.124 hektare, serta Duri Kabupaten Bengkalis seluas 120 hektare masuk ke dalam surat revisi usulan perubahan luas bukan kawasan hutan di Provinsi Riau.

Selain itu, Annas terbukti menerima hadiah uang sebesar Rp500 juta dari Gulat agar memenangkan PT Citra Hokiana Triutama milik Edison dalam pelaksana proyek pada Dinas Pekerjaan Umum (PU) Riau.

Annas juga didakwa menerima uang Rp3 miliar untuk melicinkan lokasi perkebunan empat perusahaan di Kabupaten Indragiri Hulu. Hanya saja dakwaan ini tidak terbukti. 

Dari kasus tersebut, KPK bahkan telah menetapkan tersangka korporasi, yakni PT Palma Satu. KPK menyangka anak usaha PT Duta Palma Group itu menyuap Annas terkait revisi alih fungsi hutan di Provinsi Riau tahun 2014.

Selain menetapkan tersangka korporasi, KPK juga menetapkan pemilik PT Duta Palma, Surya Darmadi dan Legal Manager PT Duta Palma Suheri Terta menjadi tersangka. 

KPK menyangka ketiga pihak itu menyuap Annas Rp3 miliar untuk mengeluarkan lokasi perkebunan milik PT Duta Palma dari kawasan hutan. Dengan begitu, produk perusahaan sawit tersebut mendapat predikat Indonesian Suistanable Palm Oil yang bisa diimpor ke luar negeri.



Tags Korupsi