Studi: Hanya Twitter Medsos yang Mampu Redam Teori Konspirasi
RIAUMANDIRI.CO - Sebuah hasil studi mengungkap bahwa orang-orang yang menghabiskan waktu di Facebook, YouTube, WhatsApp, dan Messenger lebih cenderung percaya saja kepada teori konspirasi.
“Sementara mereka yang menggunakan Twitter lebih kecil kemungkinannya untuk percaya,” bunyi hasil studi itu yang diterbitkan di jurnal Sage, Kamis 21 Oktober 2021 dikutip dari Tempo.co.
Studi tersebut menganalisa bagaimana pengguna beragam media sosial di 17 negara—sebagian besar Eropa—dalam menghadapi penyebaran laporan berita yang tidak berdasar alias hoax. Platform medsos yang masuk dalam studi itu adalah Facebook, YouTube, WhatsApp, Messenger, Twitter, dan YouTube.
Rata-rata, Twitter mengurangi keyakinan teori konspirasi (conspiracy theory beliefs/CTB) sebesar 3 persen. Sedangkan YouTube malah meningkatkan CTB antara 2 dan 3 persen, dan WhatsApp antara 1 dan 2 persen.
“Platform seperti Facebook, WhatsApp, dan Messenger dibangun untuk mendukung komunikasi antara keluarga dan teman, sementara Twitter sebagian besar melayani interaksi antara orang asing,” tulis hasil studi itu.
Para penelitinya mengajukan serangkaian pertanyaan tentang beberapa teori konspirasi paling populer terkait Covid-19 yang beredar di media sosial. Peserta ditanya sejauh mana mereka mempercayai pernyataan seperti vaksin Covid-19 telah dikembangkan, tapi perusahaan farmasi besar menyembunyikannya untuk meningkatkan keuntungan.
Pernyataan lainnya yang dicek adalah virus corona adalah senjata biologis yang sengaja dibuat oleh Cina untuk menyakiti orang. Atau ini: virus corona adalah kebocoran yang tidak disengaja dari eksperimen rahasia militer Amerika Serikat.
Kemudian peserta diminta untuk memilih jawaban mereka dengan beberapa opsi. Mulai dari sangat yakin itu salah, agak yakin itu salah, tidak yakin apakah itu benar atau salah, agak yakin itu benar, dan sangat yakin itu benar.
Data pengguna medsos dikumpulkan dari survei panel dua gelombang yang dilakukan di 17 negara yakni: Austria, Belgia, Denmark, Prancis, Jerman, Yunani, Hongaria, Israel, Italia, Belanda, Norwegia, Polandia, Rumania, Spanyol, Swedia, Swiss, dan Inggris. Gelombang pertama dilakukan pada Desember 2019 (sebelum merebaknya Covid-19 meledak menjadi pandemi), dan gelombang kedua, pada Mei dan Juni 2020.