Pemerintah Lakukan Dehabibienisasi dalam Pengembangan Riset
Oleh Dr. H. Mulyanto, M.Eng*
DUA tahun Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf di bidang riset dan inovasi ditandai dengan maraknya pembubaran kelembagaan iptek nasional. Beberapa lembaga iptek strategis seperti Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek), Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) dan Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) dibubarkan.
Ada kesan, selama berkuasa Presiden Joko Widodo sedang melakukan “proyek dehabibienisasi” yakni menghapus jejak, karya dan kelembagaan teknologi yang hasilkan begawan Iptek Prof. Dr. BJ Habibie.
Sikap politik ini salah. Harusnya pemerintah menjaga dan meneruskan hal baik yang sudah dibangun oleh Prof. Dr. BJ Habibie. Bukan malah menghapus dan membongkar bangunan iptek nasional yang susah payah didirikan selama ini.
Pemerintah harusnya mengakui bahwa jasa Prof. Dr. BJ Habibie dalam pengembangan iptek nasional sangat besar. Habibie secara massif berhasil membangun struktur teknologi (techno-structure) iptek nasional, baik berupa pengembangan sumber daya manusia (human ware), peralatan (technoware), kelembagaan (orgaware) maupun jaringan (infoware).
Semua itu berujung pada beroperasinya BUMN Industri Strategis (BUMNIS) sebagai wahana kekuatan anak bangsa untuk memproduksi peralatan hankam dan sipil canggih mulai dari pesawat, kapal, tank, senjata, peledak, baja, industri berat sampai elektronik.
Jauh-jauh hari Habibie sudah membangun landasan bagi keunggulan bersaing (competitive advantage) bangsa, di samping terus mendayagunakan keunggulan SDA (comparative advantage) yang ada.
Ketimbang terlena pada kelimpahan SDA, sesuatu yang akan habis pada waktunya dan kita terperangkap pada “kutukan SDA”. Habibie meletakan dasar bagi ekonomi berbasis Iptek (knowledge-based economy) agar Indonesia menjadi negara yang ekonominya digerakkan oleh inovasi (Innovation Driven Country)
Kebijakan Presiden Joko Widodo yang paling fenomenal adalah membubarkan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dan Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT). Kedua lembaga bergengsi yang selama ini menjadi poros pembangunan Iptek nasional yang lekat dengan sosok BJ Habibie.
“Sebelumnya dihapus Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS), Dewan Standarisasi Nasional (DSN) dan dimuseumkannya pesawat N-250 si Gatot Kaca, karya besar anak bangsa, yang terbang fly by wire.
Anehnya Dewan Riset Nasional (DRN), yang anggotanya terdiri dari para ahli iptek berkaliber internasional dibubarkan. Itu semua diganti dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang Ketua Dewan Pengarahnya Megawati, yang merupakan ketua umum parpol dan tidak memiliki reputasi di dunia iptek.
Pemerintah yang membubarkan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), yang dilebur kedalam BRIN. Kebijakan ini melanggar Undang-Undang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran dan Undang-Undang No. 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan.
Dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, berbunyi: “Pemerintah membentuk Badan Pelaksana yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang bertugas melaksanakan pemanfaatan tenaga nuklir”.
BATAN dan LAPAN bukan sekedar lembaga penelitian dan pengembangan. Keduanya masing-masing adalah Badan Pelaksana tugas pokok ketenaganukliran dan Badan Penyelenggara keantariksaan dan penerbangan. Sehingga ketika kedua lembaga ini dibubarkan, maka terjadi kekosongan pelaksanaan tugas atas amanat UU. Kalau pun tugas itu masuk dalam BRIN, maka terjadi pembonsaian amanat UU.
Dari sisi kinerja capaian riset dan inovasi kita terus menurun. Peringkat inovasi Indonesia dalam laporan Global Innovation Index (GII) tahun 2021 semakin merosot. Indonesia bertengger pada peringkat ke-87 dari 132 negara.
Yang paling lemah adalah aspek “kelembagaan” (peringkat ke-107). Inovasi kita jauh tertinggal dibanding Brunei (ranking 82), Filipina (ranking 51) dan Vietnam (ranking 44). Apalagi dibanding Thailand (ranking 43), Malaysia (ranking 36) dan Singapura (ranking 8). Di ASEAN kita hanya berada di atas Laos (ranking 117) dan Kamboja (ranking 109).
Secara makro-strategis, pembangunan riset dan inovasi kita di dua tahun Pemerintah Jokowi-Ma’ruf ini semakin terpuruk. Ini cocok dengan pepatah sekaligus petuah dari Buya Hamka, bahwa angan pernah merobohkan pagar tanpa mengetahui mengapa ia didirikan.
Kita banyak membubarkan kelembagaan Iptek, tanpa tahu persis pentingnya dulu lembaga itu dibangun. (*Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI/Anggota Komisi VII DPR RI)