Politik Gentong Babi Perlu Diawasi Jelang Pilpres 2024
Oleh M. Jamiluddin Ritonga*
Politik gentong babi kembali mencuat setelah ada indikasi banyak menteri yang potensial nyapres. Para menteri tersebut dihawatirkan akan menggunakan dana publik untuk mempengaruhi masyarakat memilihnya pada pilpres 2024.
Peluang ke arah itu memang sangat terbuka, terutama menteri yang tugas dan fungsinya (tupoksinya) bersentuhan langsung dengan masyarakat. Para menteri itu bisa saja mengkonversi beberapa program untuk digunakan kampanye secara indirect. Menteri membawa program ke masyarakat tidak untuk kepentingan kementerian yang dipimpinnya, tapi diarahkan untuk kepentingan nyapres.
Kampanye indirect (terselubung) menggunakan dana negara memang berpeluang mempengaruhi masyarakat. Apalagi saat ini sebagian masyarakat mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kelompok masyarakat seperti ini tentu potensial dipengaruhi politik gentong babi.
Hanya saja besar kecil pengaruhnya sangat ditentukan oleh nilai jual dari menteri yang melakukan politik gentong babi. Bagi menteri yang nilai jualnya tinggi (terlihat dari elektabilitasnya), tentu pengaruh politik gentong babi akan sangat besar kepada masyarakat. Politik gentong babi justeru akan menimbulkan efek penguatan bagi masyarakat untuk memilih sang menteri.
Sebaliknya, menteri yang nilai jualnya rendah, tentu pengaruh politik gentong babi terhadap masyarakat memang ada. Hanya saja pengaruhnya tidak akan meningkatkan elektabilitasnya secara signifikan.
Jadi, yang sangat dihawatirkan bila menteri itu punya nilai jual tinggi dan tupoksinya bersentuhan langsung dengan msyarakat. Menteri seperti ini akan berpeluang memanfaatkan politik gentong babi untuk makin meningkatkan elektabilitasnya. Politik gentong babi akan sangat efektif dimanfaatkan untuk menambah lumbung suara.
Peluang itu semakin besar mengingat di Indonesia lebih dominan pemilih emosional. Mereka memilih bukan karena kapasitas dan kompetensi calon, tapi kerap masih atas pertimbangan perut. Mereka inilah yang berpeluang besar terpengaruh oleh politik gentong babi.
Peluang seperti itu tentu tak dimiliki calon yang tidak memiliki jabatan publik. Mereka tidak dapat melakukan politik gentong babi, karena mereka memang tidak mempunyai akses untuk itu.
Calon yang bukan pejabat publik tentu akan menggunakan dana pribadi atau dana sponsor untuk mempengaruhi masyarakat pemilihnya. Penggunaan dana tersebut untuk mempengaruhi rakyat tidak dapat dikatakan politik gentong babi.
Namun penggunaan dana dari mana pun sumbernya dapat disebut politik uang. Hal ini tentu tidak dibenarkan dan melanggar perundang-undangan pemilu. Pelakunya dapat dikenakan pidana.
Justeru yang mengerikan bila pejabat publik, termasuk menteri, melakukan politik gentong babi yang dikombinasikan dengan dana sponsor. Mereka ini akan dapat melakukan apa saja untuk mempengaruhi masyarakat guna memilihnya.
Bahkan para pejabat publik ini bisa tidak melakukan kampanye secara langsung. Dia menggunakan para relawan untuk mengkampanyekan dirikan, termasuk membagi aneka sembako.
Pejabat publik seperti ini menggunakan anggaran publik dan dana sponsor bisa saja dengan memanfaatkan para relawan. Dia seolah tidak tahu menahu aktifitas para relawan dengan tetap melaksanakan tupoksinya. Padahal, dia yang menjadi otak semua gerak langkah para relawan dalam mempengaruhi masyarakat.
Jadi, semua pihak yang pro demokrasi perlu mencermati perilaku pejabat publik yang kelihatannya akan nyapres. Mereka perlu dipeloti baik dalam penggunaan dana publik maupun dana sponsor dalam setiap aktifitasnya yang bersentuhan dengan masyarakat.
Pengawasan juga perlu dilakukan terhadap para relawan yang belakangan bermunculan. Perlu diketahui sumber dana para relawan yang belakangan ini banyak membagikan sembako dan aktifitas lainnya dalam mempengaruhi masyarakat untuk kepentingan pejabat publik yang ingin nyapres.
Hal itu diperlukan agar politik gentong babi dan dana sponsor yang berlebihan dapat diminimalkan. Dengan begitu politik uang dapat diminimalkan pada pilpres mendatang, sehingga nantinya terpilih capres yang kompeten dan terjaga integritasnya. (*Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul)