Mantan Wako Dumai Dihukum 5 Tahun Usai Banding JPU KPK Dikabulkan
RIAUMANDIRI.CO - Upaya banding yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi terkait vonis Zulkifli Adnan Singkah membuahkan hasil. Mantan Wali Kota Dumai itu akhirnya divonis 5 tahun sebagaimana tuntutan JPU.
Sebelumnya, pada lembaga peradilan tingkat pertama, terdakwa dalam perkara suap pengurusan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kota Dumai dalam APBNP 2017 dan APBN 2018 serta gratifikasi Rp3,9 miliar itu divonis 2,5 tahun penjara. Selain itu, Zul AS juga diwajibkan membayar denda Rp250 juta subsider 2 bulan kurungan.
Selain itu, hakim juga memutuskan untuk mencabut hak politik Zul AS untuk dipilih dalam jabatan publik selama 2 tahun sejak selesai menjalankan pidana.
Hanya saja, majelis hakim tidak membebankan Zul AS untuk membayar uang pengganti kerugian negara. Namun, uang sebanyak Rp250 juta yang dititipkan Zul AS ke KPK saat proses penyidikan, dianggap sebagai gratifikasi.
Majelis hakim juga memerintahkan JPU untuk membuka blokir nomor rekening milik Zul AS dan sejumlah saksi. Barang bukti berupa tanah dan bangunan juga diperintahkan majelis hakim untuk dikembalikan kepada Zul AS.
Vonis itu dibacakan majelis hakim Pengadilan Tipikor ada Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru yang diketuai oleh Lilin Herlina, Kamis (12/8). Dalam putusannya, hakim menyatakan Zul AS bersalah sesuai dakwaan komulatif ke satu alternatif pertama, yakni Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1).
Dia juga bersalah sesuai dakwaan kumulatif ke kedua alternatif kedua, yakni melanggar Pasal 11 UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001 Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Vonis itu bertolak belakang dengan tuntutan JPU KPK Rikhi Benindo Maghaz dan kawan-kawan yang menginginkan Zul AS dihukum dengan pidana penjara selama 5 tahun dan denda Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan.
JPU juga menuntut hukuman tambahan kepada terdakwa yakni membayar uang pengganti kerugian negara Rp3.848.427.906. Dari jumlah itu telah disetor terdakwa ke rekening KPK dan telah disita KPK sebanyak Rp250 juta.
Jika terdakwa tidak membayar uang pengganti dalam waktu satu bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta benda terdakwa disita untuk mengganti kerugian negara. Jika tidak diganti kurungan selama 1 tahun.
Dalam amar tuntutannya, JPU juga menginginkan hak politik Zul AS dicabut untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun. Yakni, terhitung sejak selesai menjalankan pidana.
Menurut JPU, Zulkifli AS bersalah melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf b UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Selain itu, terdakwa juga dinilai melanggar Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Atas hal itu, JPU kemudian mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Pekanbaru. Hasilnya, hakim tingkat banding mengabulkannya.
"Banding KPK dikabulkan," ujar Panitera Muda (Panmud) Tipikor PN Pekanbaru, Rosdiana Sitorus, Senin (11/10).
Putusan banding itu, kata Rosdiana, menguatkan tuntutan JPU KPK sebelumnya. "Iya menguatkan. Tetapi putusan lengkapnya belum diserahkan. Ini masih salinan putusan," sebut Rosdiana.
Terpisah, Penasehat Hukum Zul AS, Wan Subrantiarti mengakui perihal putusan banding tersebut. Atas putusan itu, pihaknya akan melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung (MA) RI.
"Insya Allah, kasasi. Tapi kami belum menerima putusan lengkapnya. Kami menunggu itu dulu," singkat Wan.
Diketahui, dalam dakwaan pertama, Tim JPU pada menyatakan, perbuatan terdakwa Zul AS terjadi pada medio 2016 sampai 2018. Saat itu telah terjadi pemberian uang secara bertahap yang dilakukan di sejumlah tempat di Jakarta.
Terdakwa memberikan uang secara bertahap kepada Yaya Purnomo selaku Kepala Seksi Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Pemukiman pada Direktorat Evaluasi Pengelolaan dan Informasi Keuangan Daerah pada Direktorat Jenderal Perimbangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Uang juga diberikan kepada Rifa Surya selaku Kepala Seksi (Kasi) Perencanaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik II, Subdirektorat DAK Fisik II dan Kasi Perencanaan DAK Non fisik.
Uang diberikan sebesar sebesar Rp100 juta, Rp250 juta, Rp200 juta dan SGD35,000.
Dalam pengurusan DAK APBN 2017, terdakwa memerintahkan Marjoko Santoso selaku Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Daerah (Bappeda) Kota Dumai untuk pengurusan DAK melalui Yaya Purnomo. Atas perintah itu, Marjoko menemui Yaya di Hotel Aryaduta Jakarta, pada Agustus 2016.
Saat itu Yaya bersama Rifa membicarakan pengurusan DAK untuk bidang pendidikan, jalan dan rumah sakit.
Pada saat pertemuan itu, pengajuan usulan DAK APBN 2017 Kota Dumai dalam tahap belum diverifikasi oleh Kementerian Keuangan karena Pemerintah Kota (Pemko) Dumai belum memiliki admin tingkat nasional. Selanjutnya, Yaya dan Rifa memberikan kode admin kepada Marjoko.
Saat itu, Marjoko menyerahkan proposal berisi usulan DAK APBN 2017 sebesar Rp154.873.690.000 kepada Yaya dan Rifa untuk dilakukan analisa dan verifikasi.
Pertemuan kembali dilakukan pada September 2016. Ketika itu Zulkifli AS bersama Marjoko, bertemu Yaya dan Rifa di Jakarta. Yaya dan Rifa menyanggupi permintaan DAK APBN 2017 Kota Dumai.
Syaratnya, ada biaya pengurusan sebesar 2,5 hingga 3 persen dari nilai pagu yang ditetapkan. Permintaan itu disanggupi oleh terdakwa.
Pada November 2016, Marjoko diperintahkan oleh Zul AS untuk memberikan uang kepada Yaya dan Rifa sebesar Rp100 juta. Uang diserahkan di Bandara Sukarno-Harta, Tangerang, Banten.
Pemberian uang berlanjut pada Desember 2016 di Jakarta. Marjoko atas perintah terdakwa kembali memberikan uang kepada Yaya dan Rifa sebanyak Rp250 juta.
Dalam melancarkan tujuannya, Zul AS melalui bawahannya juga melibatkan kontraktor untuk mendapatkan persetujuan dari Kementerian Keuangan. Pasalnya, DAK Pemko Dumai tahun 2016 mengalami kurang bayar sebesar Rp22.354.720.000.
Zul AS memerintahkan Sya'ari selaku Kepala Dinas Pendidikan Kota Dumai untuk mencari pihak rekanan yang mampu menyiapkan komitmen fee untuk Yaya dan Rifa, agar DAK APBN-Perubahan 2017 Kota Dumai dapat diterima oleh Kementerian Keuangan.
Selanjutnya Sya'ari memberitahu kepada terdakwa bahwa ada calon rekanan yang mampu menyiapkan komitmen fee. Calon rekanan itu adalah Arif Budiman dan Mashudi.
Atas hal itu Sya'ari menyampaikan, paket pekerjaan yang bersumber dari APBN-Perubahan TA 2017 Kota Dumai, dengan perkiraan pagu anggaran sebesar Rp7,5 miliar, untuk Arif Budiman. Dengan catatan, ada komitmen fee sebesar Rp150 juta dan hal itu disanggupi Arif Budiman.
Untuk Mashudi diberi paket kegiatan pekerjaan yang bersumber dari APBN-Perubahan TA 2017 Kota Dumai dengan perkiraan pagu anggaran sebesar Rp2,5 miliar. Syaratnya, komitmen fee Rp50 juta, dan Mashudi juga menyanggupinya.
Selain itu, JPU juga mendakwa Zul AS menerima gratifikasi sebesar Rp3.940.203.152. Uang tersebut diterimanya dari pemberian izin kepada perusahaan yang mengerjakan proyek di Kota Dumai dan pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemko Dumai.
Dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, terdakwa menerima uang terkait pemberian izin kepada perusahaan yang mengerjakan proyek di Kota Dumai dan Pengadaan Barang dan Jasa di lingkungan Pemerintah Kota Dumai.
Tindakan itu dilakukan pada 2016 dengan cara memberikan arahan kepada Hendri Sandra selaku Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Dumai agar menyampaikan kepada perusahaan-perusahaan yang mengajukan izin pengerjaan proyek di Kota Dumai supaya melibatkan Yudi Antonoval dalam pengerjaan proyek.
Bahwa pada tahun 2017-2018, Yudi mendapatkan paket pekerjaan pada Pemasangan Pipa Gas pada Proyek Pengembangan Jaringan Distribusi Dumai (PJDD). Kemudian Zul AS secara bertahap menerima uang dari Yudi sejak 2017.
Zul AS juga menerima uang dari Rahmayani, Muhammad Indrawan, Hermanto, Yuhardi Manaf, Nanang Wisnubroto dan Hendri Sandra. Uang diperuntukkan kepentingan terdakwa.
Dari dakwaan juga ada uang untuk biaya ritual doa keberhasilan Zul AS dan keluarganya, pembelian barang antik, pembalikan bata terkait pembangunan rumah Zulkifli di Jalan Bundo Kandung Pekanbaru.
Ada juga pemberian uang untuk dengan menggunakan kartu debit, untuk biaya pembayaran pembelian tanah di Jalan HM Sidik Kelurahan Pelintung Kecamatan Medang Kampai Kota Dumai dan untuk pembayaran pada aplikasi Traveloka.
Ada juga uang diberikan kepada Media Riau Pesisir terkait sumbangan untuk penyewaan posko pemenangan, Syamsuar dan Edi Natar Nasution sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Riau. Jumlahnya sebesar Rp20 juta.
Uang juga diberikan untuk PT Mitra Mulia Sentosa terkait penyertaan modal bisnis anak Zul AS atas nama Nanda Octavia, sebagai pemilik Rumah Sakit Yasmin. Ada juga pemberian uang untuk pembayaran jasa pengacara pada Kantor Hukum SAM & Partners untuk keperluan Zulkifli.
Tidak hanya itu, ada penerimaan uang untuk pembelian perabot kamar tidur di rumah terdakwa, pembelian bahan batik di Toko Mumbay Tekstile.
Sejak menerima uang Rp3.940.203.152, terdakwa tidak melaporkannya kepada KPK dalam tenggang waktu 30 hari sebagaimana dipersyaratkan UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.