Film G30S dan Dramatisasi di Dalamnya
RIAUMANDIRI.CO - Kemunculan film Jagal pada 2012 dan Senyap pada 2014 menjadi kontroversi di tengah masyarakat.
Pasalnya, dalam film garapan sutradara asal Amerika Serikat, Joshua Oppenheimer itu menampilkan sisi lain dari kisah-kisah G30S yang selama ini ditampilkan pemerintah ke hadapan publik.
Misalnya, bagaimana kejamnya ABRI (sekarang jadi TNI) menghabisi semua orang yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), baik yang terbukti maupun tidak.
Bagaimana brutalnya Pemuda Pancasila membunuh orang-orang yang dicurigai dekat dengan komunisme, dan lainnya.
Pada kemunculan kedua film itu, banyak kampus yang diam-diam memutar dan mengadakan nonton bersama. Namun, beberapa terpaksa batal karena direpresi dan dibubarkan aparat kepolisian.
Dikutip dari Bisnis, Rektor UGM Dwikorita Karnawati menilai tindakan pembubaran paksa tersebut mencederai substansi dan makna kebebasan mimbar akademi.
“Ini menjadi dasar mengapa kami minta agar tindakan intimidasi segera diusut. Ini tidak hanya terjadi di UGM, tetapi juga di tempat lain,” katanya di Kampus UGM pada Jumat (19/12/2014) silam.
Sementara, terkait film G30S, Sejarahwan Universitas Gadjah Mada, Sri Margana, mengatakan film besutan sutradara Arifin C. Noer tersebut dinilai cacat fakta.
Misalnya, soal kisah penyiksaan di luar batas kemanusiaan kepada para jenderal di Lubang Buaya.
Hasil visum yang dilakukan para dokter, kata dia, tidak terbukti ada penyiksaan, seperti pencungkilan mata, pemotongan alat kelamin, dan lainnya.
"Film ini terbukti cacat fakta yang sudah diakui oleh sutradaranya sendiri. Misalnya soal penyiksaan para jenderal sebelum dimasukkan di Lubang Buaya itu terbukti dari arsip-arsip visum tidak ada, hanya dramatisasi," kata dia.
Mengingat adanya unsur kekerasan dalam film G30S/PKI, Margana menekankan perlunya upaya sensor sebab berpeluang dilihat oleh anak-anak.
"Sebaiknya yang ada unsur kekerasan tidak perlu ditayangkan, lagi pula faktanya tidak ada penyiksaan," kata dia.
Menurutnya, menjadikan peristiwa yang terjadi pada 1965 sebagai memori kolektif bangsa merupakan hal yang baik agar persitiwa serupa tidak terulang kembali. Namun dia meminta masyarakat untuk tidak mewariskan dendam masa lalu pada generasi berikutnya.
Sebab dalam persitiwa yang terjadi di tahun 1965 itu merupakan konflik antarkelompok politik.
"Yang mengerikan itu hendak diwariskan pada semuanya yang tidak berkaitan dengan masalah itu. Jadi jangan wariskan dendam," kata Margana disadur dari Suara.