Seperti Taliban, ISIS Diperkirakan Warisi Senjata AS
RIAUMANDIRI.CO - ISIS juga kemungkinan mendapatkan senjata bekas Amerika Serikat (AS) selama melakukan invasi di Afghanistan selain Taliban.
Mengutip dari Reuters, AS memiliki rekam jejak meninggalkan senjata mereka, bahkan sebelum mereka hengkang dari pertempuran.
Dikabarkan, senjata yang digunakan AS sering terabaikan dan tak dilacak dengan baik. Maka dari itu, Taliban, ISIS, dan kelompok militan lainnya diduga bisa mendapatkan rompi anti peluru, tank, drone, dan senapan asal AS.
Selain itu, Taliban diduga memperoleh senjata AS dari pejabat dan pasukan Afghanistan sebelumnya yang menjual senjata itu. Mereka juga bisa memperoleh senjata dari medan perang. Tak hanya itu, keruntuhan AS di negara itu membuat kelompok ini mendapatkan rejeki nomplok akan stok senjata.
Senjata canggih mungkin tak berguna bagi Taliban. Pasalnya, senjata jenis itu rumit digunakan, butuh perawatan khusus, rusak, atau bahkan sudah dihancurkan oleh pasukan AS sebelum pergi.
Namun, beberapa peralatan seperti instrumen komunikasi dan kacamata penglihatan di malam hari dapat membantu Taliban. Beberapa peralatan tadi dikabarkan telah digunakan unit elit Badri 313 untuk menjaga tempat penting Afghanistan, salah satunya Bandara Internasional Kabul.
Sementara itu, pemerintah AS membuat beberapa upaya untuk mencegah 'pewarisan' senjata ini. Salah satu usahanya adalah memastikan pemberian senjata AS pada pasukan negara lain berjalan aman, dari perjalanan hingga tempat tujuan.
Pejabat AS yang bertanggung jawab akan pemberian senjata ini harus memastikan keamanan senjata sampai pada personel resmi yang memang dicanangkan untuk menerima senjata itu. Para pejabat itu juga harus mencatat secara cermat senjata itu diberikan ke tentara mana dan terus melacaknya.
Tak hanya senjata, AS juga meninggalkan data biometrik di negara itu. Database biometrik ini berpotensi digunakan Taliban untuk mencari warga Afghanistan maupun luar negeri yang mendukung pendudukan AS di negara itu.
Melansir AP News, ada indikasi data pemerintah Afghanistan sebelumnya mungkin telah digunakan Taliban sejak berkuasa kembali pada 15 Agustus. Data itu dikhawatirkan untuk identifikasi dan intimidasi warga Afghanistan yang bekerja dengan pasukan AS.
Direktur Layanan Publik Seth Moulton Neesha Suarez bahwa sejumlah warga Afghanistan, terutama yang bekerja dengan AS sebelumnya, menerima panggilan telepon, teks, dan pesan WhatsApp yang tidak menyenangkan dan mengancam.
Walaupun data itu hanya dapat diakses oleh pihak berwenang, Taliban dapat meretasnya bila mereka tidak menemukan orang yang mau membuka data itu.
Tak hanya Taliban yang berpotensi menyalahkan gunakan data tadi. Profesor Universitas Boston John Woodward mengkhawatirkan data tersebut dapat diraih dan digunakan oleh badan intelijen yang bermusuhan dengan AS.
"ISI (Intelijen Pakistan) akan tertarik untuk mengetahui siapa yang bekerja untuk Amerika," kata Woodward dalam AP News.