Aturan Baru Pajak Perikanan Dinilai Cekik Nelayan
RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menerapkan peraturan baru terkait pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor kelautan dan perikanan sejak pertengahan bulan lalu.
Namun hal itu menjadi polemik karena aturan yang memuat objek kena pajak di bidang perikanan itu bak pisau bermata dua. Polemik muncul karena aturan itu bisa mencekik nelayan kecil.
Dalam peraturan yang memuat 23 pasal tersebut, KKP Mengatur penarikan PNBP mulai dari penarikan praproduksi, penarikan pascaproduksi dan sistem kontrak.
Penarikan praproduksi dan sistem kontrak inilah yang dianggap bisa menjadi pisau bagi nelayan kecil, yang memang sektor kegiatannya berada di praproduksi atau sebelum produksi.
Anggota Komisi VII DPR RI, Saadiah Uluputty, meminta KKP memastikan aturan yang berlaku itu tidak memberatkan nelayan kecil.
“Kebijakan ini seperti pisau bermata dua. Saya khawatir di satu sisi skema RRT akan mendorong naiknya PNBP, tapi di sisi lain akan mendorong eksploitasi sumber daya perikanan yang tidak berpihak bagi nelayan nasional, khususnya nelayan kecil,” Saadiah menegaskan.
Saadiah pun menimbang nasib nelayan kecil di Indonesia, yang dinilai akan mengalami kesulitan karena terbeban dengan target realisasi PNBP yang ditetapkan Ditjen Perikanan Tangkap.
“Realisasi PNBP sektor perikanan tangkap itu mencapai 1,6 triliun, jika kita komparasikan dengan data realisasi tahun 2022 sebanyak 250 triliub, artinya hanya 0,64 persen. Tetapi jika melihat beban yang akan dikenakan ke pelaku perikanan tentu saja naik lebih 150 persen. Apakah ini tidak akan membebani nelayan khususnya nelayan kecil,” tanya Saadiah.
Menurutnya wakil rakyat asal Maluku itu, defenisi nelayan kecil dulu ditetapkan berdasarkan batasan ukuran gross tonnage (GT). Padahal kalau melihat sejarahnya kategorisasi nelayan kecil berdasarkan GT agar memudahkan nelayan kecil mendapatkan hak perlindungan dari negara.
“Nah sejak UU Cipta Kerja disahkan perubahannya seperti kita kembali ke 16 tahun silam. Lalu bagaimana nelayan kecil menjadi objek pungutan, baik izin, pajak, PNPB dan lain lain,” tanya dia lagi.
Saidah juga mempertanyakan bagaimana mekanisme penarikan dengan sistem kontrak terhadap sumber daya perikanan.
Adanya PP 85 tahun 2021 perlu direspon oleh KKP khususnya yang terkait Permendagri Nomor 13 tahun 2011 tentang Penetapan Harga Patokan Ikan yang saat ini ketentuan HPI menjadi ranah KKP.
Skema kontrak yang diberlakukan dikhawatirkan tidak akan bermanfaat banyak pada Anak Buah Kapal (ABK) perikanan Indonesia. Sebab, dalam UU Cipta Kerja telah menghapus kewajiban penggunaan minimal 70 persen ABK Indonesia pada kapal berbendera Indonesia maupun berbendera asing.
Dilansir dari laman resmi Kementerian Sekretariat Negara, PP Nomor 85/2021 ditetapkan dan diundangkan pada 19 Agustus 2021.
Dengan terbitnya PP Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan, PP Nomor 75 Tahun 2015 yang sebelumnya menjadi acuan, tidak lagi berlaku.
"Aturan tersebut kini menjadi acuan KKP dalam mengelola PNBP di bidang kelautan dan perikanan," kata Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono dalam siaran persnya.
PP Nomor 85 Tahun 2021 terdiri dari 23 pasal dan lampiran. PP tersebut mengatur 18 jenis PNBP pada sektor kelautan dan perikanan yang antara lain meliputi pemanfaatan sumber daya alam perikanan, pelabuhan perikanan, dan pengembangan penangkapan ikan.
Kemudian juga mencakup penggunaan sarana dan prasarana sesuai dengan tugas dan fungsi, pemeriksaan/pengujian laboratorium, pendidikan kelautan dan perikanan, pelatihan kelautan dan perikanan, serta analisis data kelautan dan perikanan.
Selanjutnya sertifikasi, hasil samping kegiatan tugas dan fungsi, tanda masuk dan karcis masuk kawasan konservasi, persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut, persetujuan penangkapan ikan yang bukan untuk tujuan komersial dalam rangka kesenangan dan wisata, perizinan berusaha terkait pemanfaatan di laut.
Selain itu, dalam PP tersebut juga termasuk mengenai pemanfaatan jenis ikan dilindungi dan/atau dibatasi pemanfaatannya, denda administratif, ganti kerugian, dan alih teknologi kekayaan intelektual.
PP Nomor 85 Tahun 2021 merupakan implementasi dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang salah satunya mengatur perubahan formula penarikan PNBP yaitu penarikan praproduksi, penarikan pascaproduksi dan sistem kontrak.
Peraturan ini menjadi landasan hukum bagi KKP dalam mengimplementasikan tiga program terobosan 2021- 2024, salah satunya peningkatan PNBP dari sumber daya alam perikanan tangkap untuk peningkatan kesejahteraan nelayan.
Seiring terbitnya aturan baru mengenai pengelolaan PNBP, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono meminta jajarannya untuk terus berinovasi yang salah satu tujuannya untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat kelautan dan perikanan.
“Untuk mengoptimalkan PNBP guna menunjang pembangunan nasional, PNBP pada KKP sebagai salah satu sumber penerimaan negara, perlu dikelola dan dimanfaatkan untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat berdasarkan semangat dan tujuan diterbitkannya Undang-Undang Cipta Kerja,” tandasnya.