Jazilul Fawaid: MPR Tetap Menjadi Cerminan Kedaulatan Rakyat
RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Jazilul Fawaid menegaskan, meski MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara, tetapi tetap menjadi cerminan kedaulatan rakyat.
"MPR memiliki tugas yang tidak dimiliki oleh DPR maupun DPD RI. Kewenangan tertinggi dalam negara, yaitu mengubah konstitusi, UUD hanya dimiliki oleh MPR," kata Jazilul dalam diskusi bertema "Refleksi 76 Tahun MPR sebagai Rumah Kebangsaan Pengawal Ideologi Pancasila dan Kedaulatan Rakyat" di Media Center Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/8/2021).
Meski demikian kata Jazilul, MPR tetap taat kepada konstitusi yang ada. MPR itu adalah daulat rakyat, di situ ada 2 kamar, 1 kamar DPD RI dan 1 kamar DPR yang semuanya dipilih berdasarkan kehendak rakyat.
Apa yang dilakukan oleh MPR harus mencerminkan kehendak rakyat. Amandemen konstitusi sebagai kewenangan tertingginya itu harus mencerminkan kehendak rakyat.
"Jika tidak sambung antara kehendak rakyat dengan apa yang dilakukan oleh MPR, maka di situ menjadi masalah menurut saya. Oleh sebab itu, mari kita wujudkan kehendak rakyat ini sesuai dengan konstitusi dan demokrasi yang kita punya," kata politisi PKB itu.
Mengubah konstitusi atau mengubah UUD 1945 biasanya selalu terkait dengan dinamika perkembangan masyarakat. Selama era reformasi, sudah 4 kali dilakukan amandemen.
Kini muncul lagi wacana amandemen terbatas terkait pembentukan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN) yang menjadi rekomendasi MPR periode sebelumnya.
"Nggak tahu nanti, apa pandemi ini akan merubah atau enggak. Apakah PPHN dibutuhkan di era pandemi? Itu sedang ada dalam kajian di Badan Kajian MPR," kata Jazilul.
Menurut Jazilul, yang perlu mendapat perhatian sekarang ini adalah dampak pandemi terkait pelaksanaan Pemilu 2024.
"Kalau nanti tahun 2024 ternyata aktivitas politik juga ditutup ini pasti ada masalah di ketatanegaraan. Tentu kita tidaj mengharapkan itu, kita tidak menginginkan itu, kita ingin segera pulih. Tetapi kalau itu tidak ditemukan, maka tidak ada jalan keluar, kecuali melalui amandemen," kata Jazilul.
"Kalau jadwal pilkada diundur bisa diatur dengan Perppu. Tapi kalau mengundurkan pemilu presiden, saya pikir belum ketemu itu jalurnya seperti apa," kata Jazilul.
Tolak Presiden 3 Periode
Sedangkan anggota MPR dari Demokrat Anwar Hafid menegaskan bahwa Partai Demokrat siap bersama rakyat menentang perpanjangan masa jabatan presiden. Karena memang rakyat tidak menghendakinya.
"Partai Demokrat siap berkoalisi dengan rakyat guna merespon perkembangan wacana tersebut,” tegas Anwar Hafid seraya memastikan kalau dirinya siap menggagalkan wacana masa jabatan presiden untuk tiga periode dalam amendemen UUD 1945.
Anwar mengingatkan kalau bangsa ini telah banyak mengorbankan nyawa mahasiswa dalam suasan reformasi hanya untuk memperjuangkan masa jabatan presiden selama dua periode. “Masak kita mau kembali membuka luka lama,” tegasnya.
Pengamat politik Ujang Komarudin mengingatkan MPR hati-hati melakukan amandemen UUD 1945, terutama terkait presiden tiga periode.
"Hati-hati dengan amandemen. Kalau dipaksakan untuk menambah masa jabatan presiden, misalnya tiga periode, ini akan berhadapan dengan rakyat dan mahasiswa. Jangan sampai chaos," kata Ujang dengan nada khawatir.
Ujang mengungkapkan, hampir setiap minggu dia diundang oleh kalangan mahasiswa, BEM, aktivis 98 berdiskusi tentang persoalan kebangsaan.
"Titik pointnya mereka sama, menunggu momentum ini. Mereka sudah gerah. Karena itu, hendaklah hati-hati, khususnya para elit politik kita soal amandemen ini," kata Ujang.
Secara pribadi, pengamat politik dari Al Azhar itu juga tidak setuju dengan jabatan presiden tiga periode karena negeri ini banyak memiliki orang-orang hebat yang mampu memimpin bangsa ini.
"Bukankah dari 270 juta rakyat Indonesia banyak yang mampu, banyak yang hebat, banyak yang keren. Tolong beri kesempatan bisa memimpin bangsa ini," tegas Ujang.
Ujang juga mengungkapkan bahwa ada orang yang mendatangi dirinya menawarkan sebagai juru bicara presiden tiga periode Jokowi - Prabowo, tapi ditolaknya.
"Ini ada indikator yang menuju ke arah sana. Lalu saya bilang saya konsisten, saya ini kan akademisi. Kita paham kebatinan rakyat Indonesia," ungkap Ujang.
Ujang tidak mempersoalkan MPR melakukan amandemen terbatas terkit Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN), tetapi tidak melebar ke wilayah penambahan kekuasaan.
"Mohon maaf saya katakan, rakyat tidak butuh itu, rakyat itu butuhnya makan, pekerjaan karena banyak di PHK, kesehatan, bukan amandemen yang melebar kepada penambahan masa jabatan presiden," tegas Ujung.
Ujang juga mengkritisi usulan amandemen sekarang jauh berbeda dengan di awal reformasi dulu. Sekarang dimunculkan dari atas, yaitu elite politik. Di awal reformasi muncul dari bawah yang disuarakan oleh rakyat.
"Sekali lagi terkait dengan amandemen ini hati-hati. Gawangnya ada di MPR. Jadi mesti menyikapinya dengan bijak, dengan baik. Kalau itu dipaksakan, bisa jadi ini akan menjadi chaos di kemudian hari," kata Ujang.