Ketua DPD RI Minta Pemerintah Tingkatkan Sarpras Penunjang Belajar Daring
RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Akibat pandemi Covid-19, proses belajar mengajar harus dilakukan secara daring sejak Maret 2020. Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat banyak kendala terkait sarana dan prasarana dalam proses PJJ tersebut.
Kendala yang paling sering ditemukan adalah banyaknya siswa yang tidak memiliki fasilitas smartphone. Selain itu juga, banyak siswa maupun orang tua kesulitan membeli kuota hingga sulitnya jaringan internet, khususnya yang berada di daerah pelosok.
Karena itu, Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti meminta pemerintah untuk meningkatkan sarana dan prasarana (sarpras) guna menunjang pembelajaran jarak jauh (PJJ).
“Pemerintah memang memiliki program bantuan kuota internet, tapi banyak siswa yang tidak punya akses HP. Atau sekalipun punya, HP-nya tidak support untuk PJJ atau sulitnya sinyal di tempat tinggal mereka. Ini menjadi sebuah keprihatinan yang seharusnya dipikirkan secara serius oleh pemerintah,” tutur LaNyalla di Jakarta, Jumat (13/8/2021).
Senator asal Jawa Timur itu mengatakan, sekolah daring perlu dilakukan untuk menghindari penularan virus Corona ke anak-anak. Namun, pemerintah harus bisa memastikan sarana dan prasarana penunjang pembelajaran berbasis online untuk seluruh ssiwa dapat terpenuhi. Era digitalisasi harus bisa dirasakan semua orang di seluruh Indonesia.
LaNyalla mengapresiasi orang tua dan siswa yang berjuang untuk memenuhi sarana dan prasarana sekolah daring secara pribadi. Seperti yang dilakukan dua orang siswa kakak beradik, Ahmad Fardan Azzmib dan Sofia Ghoyatun Nafisah, yang membeli HP dari tabungan mereka.
“Apa yang dilakukan Ahmad Fardan Azzmib dan adiknya, Sofia Ghoyatun Nafisah, siswa/siswi SD di Magelang, patut dipuji karena rela membuka tabungan untuk membeli handphone agar memudahkan sekolah online. Bahkan keduanya bersama sang ibu tidak malu datang ke toko HP membayar dengan uang recehan,” puji LaNyalla.
Sedangkan sejumlah guru menggunakan handy talky (HT) untuk mengajar akibat keterbatasan sarana dan prasana. Di antaranya guru di SDN 1 Balerejo Madiun, guru Madrasah Ibtidaiyah Pasawahan Ciamis, dan guru SD Mojo Pasar Kliwon Solo.
Para guru ini membagi murid-muridnya menjadi beberapa kelompok yang rumahnya berdekatan, untuk bisa bersama-sama mengikuti pembelajaran melalui siaran HT guru. Cara ini dinilai memudahkan sehingga murid tidak terbebani kuota internet, dan bagi yang tidak memiliki HP masih tetap bisa mengikuti pembelajaran.
Hanya saja, terkadang para siswa harus ke luar rumah mencari lokasi yang menangkap frekuensi pancaran HT guru, baik di jalan, kebon, bahkan hutan. Para murid pun tak merasa terbebani walaupun harus menerima pelajaran yang lain dari bisanya.
Keterbatasan jaringan dan kuota internet pun memaksa siswa di SMK Negeri 7 Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), menerima materi pembelajaran dari guru melalui aplikasi Facebook gratis.
Guru SMKN 1 Bolo Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, juga menyiasati persoalan jaringan dengan memberikan fotocopy materi di sekolah sehingga anak-anak bisa datang dan mengambilnya untuk mengerjakan kembali di rumah masing-masing.
Selain masalah jaringan internet, listrik yang sering padam juga menjadi kendala siswa mengikuti pembelajaran online. Hal tersebut dirasakan siswa di Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, yang terpaksa mencari sinyal di pantai atau di atas gunung demi mendapatkan pembelajaran.
Mereka bahkan terkadang tidak bisa mengikuti proses belajar via online jika cuaca buruk terjadi di wilayahnya.
“Di daerah-daerah, khususnya yang berada di pelosok, masalah listrik ini sudah menjadi makanan sehari-hari. Masih banyak juga desa yang belum teraliri listrik sehingga siswa di sana tidak bisa mengikuti pembelajaran online. Ini jadi PR besar pemerintah,” tutur LaNyalla.
LaNyalla mengimbau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Ristek berkoordinasi dengan Kementerian Kominfo dan PLN untuk mengatasi persoalan yang dihadapi terkait jaringan internet dan listrik. Kerja sama Kemendikbud dengan pemerintah daerah dinilai juga harus maksimal.
“Dengan begitu hak anak mendapat pendidikan yang layak betul-betul dapat terealisasi. Kita masih punya pekerjaan besar untuk memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia. Seluruh jajaran terkait harus bisa mendatangkan solusi dari setiap masalah yang muncul mengenai PJJ ini,” tegas LaNyalla.