Pemakzulan Presiden
UUD 1945 menganut sistem presidensial meskipun bukan presidensial murni dan par excellence. Ciri sistem presidensial, pertama, presiden dipilih langsung oleh rakyat secara fix term (untuk lima tahun) dan karena itu memiliki legitimasi politik yang sangat kuat.
Kedua, presiden adalah kepala pemerintahan. Ketiga, presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya menurut UUD yang sangat tidak mudah dilakukan. Sistem presidensial memang didesain untuk menjamin terwujudnya stabilitas politik sehingga pemerintahan yang dipimpin presiden tidak mudah jatuh. Jika presiden mudah dijatuhkan oleh parlemen (baca: MPR), itu bukan sistem presidensial yang baik.
Karena itu, dalam sistem presidensial, eksistensi presiden tak boleh terlalu digantungkan pada lembaga negara lain, seperti DPR/MPR. Benar, MPR-lah yang melantik Presiden (UUD 1945 Pasal 3 Ayat 2), tapi pelantikan Presiden (hasil pilpres) oleh MPR bukan qonditio sine qua non dan tidak bersifat mutlak bagi keabsahan kepresidenannya.
Jika MPR tidak dapat bersidang, presiden terpilih cukup mengucapkan sumpah atau janji di hadapan sidang DPR. Dan jika DPR tidak juga bisa bersidang, Presiden cukup bersumpah atau berjanji di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan pimpinan Mahkamah Agung (UUD 1945 Pasal 9 Ayat 1 dan 2).
Betapa benarnya hal itu, bahkan Sidang MPR atau DPR untuk agenda pelantikan presiden tidak memerlukan persyaratan kuorum tertentu. Malah, sebenarnya tak ada keharusan konstitusional mengenai jumlah pimpinan MPR yang harus ada ketika presiden mengucapkan sumpah dan juga tidak ada keharusan di tempat di mana (locus) peristiwa pelantikan itu harus dilaksanakan: bisa di MPR, MA, istana, dan tempat lain. Yang penting pengucapan sumpah presiden terpilih itu di hadapan pimpinan MPR (pimpinan sementara atau definitif) dan disaksikan pimpinan MA.
Ketentuan yang tidak memutlakkan Sidang Paripurna MPR sebagai prasyarat keabsahan kepresidenan seorang presiden terpilih untuk memperkuat sistem presidensial sekaligus penghormatan terhadap pilihan rakyat sebagai wujud kedaulatan di tangan rakyat: suara rakyat suara Tuhan (vox populi vox dei), atau tangan Tuhan di atas tangan rakyat (yadullahi fauqa aidihim).
Dengan mengatakan itu, semua bukan berarti presiden dan/atau wapres itu kekuasaannya absolut atau tidak bisa dijatuhkan. Presiden, apalagi wapres, bisa berakhir masa jabatannya karena (1) mangkat dan (2) berhenti. Berhenti bisa karena (3) masa baktinya sudah habis lima tahun, (4) mengundurkan diri, atau (5) diberhentikan (lihat UUD 1945 Pasal 8 Ayat 1).
Di samping karena mangkat atau berhenti karena mengundurkan diri, Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun jika terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wapres (UUD 1945 Pasal 7A).
Dalam kaitan ini, pemakzulan (impeachment) presiden mungkin saja dilakukan, tapi sangat tidak mudah: prosedurnya rumit dan panjang (njlimet), berliku-liku, berlapis, dan membutuhkan dukungan politik luar biasa besar. Ini semua guna memperkuat sistem presidensial. Untuk memperkuat sistem presidensial itu pula, konstruksi konstitusi pemakzulan presiden merupakan perpaduan proses politik di DPR/MPR dan proses hukum di Mahkamah Konstitusi (MK).
Benar memang, DPR yang memulai proses impeachment dengan mengusulkan pemberhentian presiden melalui penggunaan hak menyatakan pendapat (HMP) yang diputuskan melalui rapat paripurna DPR. Namun, pembuktian atas pendapat DPR bahwa presiden telah melanggar hukum dan lainnya sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 7A harus melalui proses hukum di MK.
Sekali lagi, DPR hanya bisa berpendapat bahwa presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden (lihat UUD 1945 Pasal 7B Ayat 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7). Adapun pemeriksaan, penyelidikan, dan keputusan atas pendapat DPR menjadi kewenangan penuh MK. Bahkan ketika seandainya MK membuktikan kebenaran pendapat DPR itu sekalipun, MPR dapat saja tidak memberhentikan presiden.
Dalam UUD 1945 sekarang ini, kedudukan presiden secara politik sangatlah kuat. Pintu pemakzulan memang ada, tetapi ibaratnya sekecil lubang jarum. Berbeda dengan sebelum ada amendemen UUD 1945, proses pemakzulan presiden adalah sepenuhnya politik. Dan, itu hanya terjadi di dua lembaga politik, yaitu di DPR (ingat mekanisme jatuhnya memorandum kepada presiden jika DPR menduga presiden melanggar haluan negara) dan MPR (melalui Sidang Istimewa MPR). Setelah amendemen UUD, pemakzulan presiden merupakan perpaduan berurutan yang meliputi proses politik (di DPR), proses hukum (di MK), dan proses politik lagi (di MPR).
Pemakzulan bukan lagi hanya menjadi urusan DPR dan MPR, melainkan juga memutlakkan peran dan wewenang MK. Bahkan, menurut penafsiran saya, MK-lah yang lebih menentukan. MK satu-satunya yang berhak memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa presiden telah terbukti melakukan pelanggaran hukum atau perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden. DPR hanya berhak berpendapat dan hanya bisa menyatakan pendapatnya tentang terjadinya pelanggaran hukum oleh presiden!
Kuorum persidangan DPR dan MPR untuk proses impeachment juga berbeda dan lebih berat dibandingkan Sidang DPR/MPR dengan agenda lainnya. Jika untuk sidang biasa kuorum sidang DPR adalah 50+1 persen, khusus untuk sidang dengan agenda HMP kuorumnya 2/3 anggota harus hadir (sebelum dibatalkan oleh MK kuorum sidang DPR dengan agenda HMP adalah 3/4).
Sidang paripurna MPR untuk memakzulkan presiden harus memenuhi kuorum dihadiri 3/4 jumlah anggota MPR. Adapun keputusan MPR untuk memberhentikan presiden diambil pada rapat paripurna yang disetujui sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Presiden pun harus diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam Sidang Paripurna MPR sebagai pembelaan atas pendapat DPR dan keputusan MK.
Walhasil, meskipun pemakzulan presiden dan/atau wapres dimungkinkan oleh UUD 1945, peluangnya sangat kecil, jalannya berliku, dan tahapannya di tiga lembaga negara secara berurutan: proses berlapis-lapis di DPR, proses bertahap di MK, dan proses berliku di MPR. Konstitusi kita sudah memagari ketat proses pemakzulan presiden agar tidak terjadi manuver politik yang hanya berdasarkan politik berdimensi jangka pendek.
Kesemuanya itu sengaja didesain dalam konstitusi bukan hanya untuk melindungi presiden dan wapres pilihan rakyat sesuai prinsip kedaulatan di tangan rakyat, juga untuk melindungi sistem presidensial yang kita anut. Semua pihak harus menghormati prinsip ini. Presiden dan pendukungnya tidak perlu terlalu khawatir, apalagi bersikap berlebihan dan paranoid dalam melindungi presiden idolanya. Konstitusi sudah membuat proteksi secara canggih. Manis bukan? .
*) Mantan Wakil Ketua MPR RI .