LBH Tuding Pemerintah Pakai Istilah PPKM Agar Terhindar dari Kewajiban Bansos
RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - Direktur YLBHI-LBH Pekanbaru, Andi Wijaya mengomentarai kebijakan pemeritah yang kerap mengeluarkan istilah-istilah baru untuk menekan laju penularan Covid-19. Pemerintah disebut tak memilih opsi UU kekarantinaan atau lockdown hanya karena menghindari kewajiban memberikan bantuan sosial (Bansos) kepada masyarakat terdampak.
"Negara malah menggunakan istilah-istilah yang berbeda padahal pada intinya sama seperti karantina. Seperti PPKM darurat hari ini, semua orang dibatasi, keluar disekat dan lain-lain. Ketika sudah karantina, itu semua kebutuhan warga negara Indonesia harus ditanggung pemerintah. Itu suatu kewajiban yang harus diberikan ketika suatu wilayah dikarantina," ucapnya kepada Haluan Riau, Kamis (15/7/2021).
"Nah, problemnya sampai hari ini kita enggak menetapkan itu. Artinya negara tidak ingin mengeluarkan kewajibannya. Makanya istilahnya beda-beda. Kita enggak tahu lagi habis ini pemerintah akan menggunakan istilah apa lagi," sambungnya.
Dikatakan Andi, pemerintah sudah sejak awal lalai menangani pandemi ini. Padahal, pemerintah memiliki waktu yang cukup untuk mengantisipasi masuknya virus dari negara luar. Tetapi, realitanya ada saja varian baru yang masuk.
"Ketika angka itu semakin tinggi, misalnya di Pekanbaru, memang saat ini masih PPKM mikro. Tapi di luar Jawa sana sudah darurat. Ini kan bukan mencegah lagi namanya tapi menunggu waktu. Kalau memang mau mencegah tutup bandara dari WNA luar. Akses luar dan dalam tutup. Itu mengurangi penyebaran Covid-19. Tapi nyatanya yang terjadi lonjakan Covid-19 tinggi. Banyak varian-varian baru masuk," tuturnya.
Hal senada juga dirasakan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati. Ia menilai istilah-istilah lain dalam skema pembatasan masyarakat seperti PPKM Mikro Darurat, PPKM Darurat, PSBB, dll, adalah upaya pemerintah menghindari kewajiban bantuan sosial kepada masyarakat.