Jamiluddin Ritonga: Terjadi Pembunuhan Karakter Ketua BEM UI Setelah Kritik Jokowi

Jamiluddin Ritonga: Terjadi Pembunuhan Karakter Ketua BEM UI Setelah Kritik Jokowi

RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul M. Jamiluddin Ritonga menilai telah terjadi upaya pembunuhan karakter Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) Leon Arvinda Putra setelah menjuluki Presiden Joko Widodo (Jokowi) The King of Lip Service.

"Ketua BEM UI dituding asuhan Cikeas dan pendukung Front Pembela Islam (FPI). Bahkan Leon dituding sebagai anggota HMI yang beafiliasi ke Partai Keadilan Sejahtera (PKS)," kata Jamil kepada media ini, Kamis (1/7/2021).

Jamil menilai tudingan itu tampaknya sengaja disampaikan secara vulgar untuk mengalihkan perhatian dari masalah yang diperdebatkan ke sifat atau reputasi dan kredibilitas pribadi Leon. Para penuding tidak menjawab substansi kenapa muncul julukan The King of Lip Service, tapi mereka lebih fokus merusak reputasi dan kredibilitas Leon.

"Tujuan mereka jelas. Dengan rusaknya reputasi dan kredibilitasnya, publik diharapkan tidak mempercayai Leon dan BEM UI yang dipimpinnya. Publik diharapkan menjadi antipati dan berbalik menyerang Leon dan BEM UI," kata mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta itu.

Upaya pembunuhan karakter (character assassination) semacam itu menurut Jamil, memang kerap terjadi di Indonesia. Diskursus menjadi tidak berkembang karena pihak-pihak yang berwacana lebih fokus menyerang orangnya daripada apa yang diwacanakan.

"Akibatnya, bukan solusi yang dihasilkan dari sebuah wacana. Wacana justeru berkembang pada bertebarannya stigma-stigma negatif yang ditujukan kepada pihak-pihak yang berwacana," ujar Jamil.

Celakanya lagi menurut Jamil, pada kasus BEM UI ini, para pemberi stigma negatif itu datang dari orang-orang terdidik dan bahkan ada yang sudah dedengkot di dunia politik. Mereka tega memberi stigma negatif kepada para mahasiswa yang memang masih belajar berwacana.

"Mereka justeru memberi contoh yang tidak baik kepada juniornya dalam berwacana. Anehnya mereka justeru terkesan bangga melakukan hal itu," tegas Jamil.

Jamil mengkhawatirkan, kalau para mahasiswa terus diajarkan berwacana dengan membunuh karakter seseorang, maka mereka akan melakukan hal yang sama di kemudian hari. Kalau ini yang terjadi, tentu berbahaya bagi perkembangan komunikasi politik di tanah air.

"Akibatnya, wacana tidak akan pernah produktif. Setiap wacana akan selalu diiringan pembunuhan karakter yang dapat melahirkan dendam. Tentu ini tidak sehat untuk komunikasi politik di negeri tercinta ini," keluh Jamil.