Pria Aceh Divonis Bebas Usai Diduga Perkosa Ponakan, Kejaksaan Akan Ajukan Kasasi
RIAUMANDIRI.CO, ACEH - Kejaksaan Negeri (Kejari) Aceh Besar akan mengajukan kasasi terkait putusan Mahkamah Syar'iyah Aceh yang memvonis bebas terdakwa kasus pemerkosaan anak di bawah umur berinisial DP (35).
"Kita akan kasasi," ucap Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Aceh Besar, Shidwi Noer Salsa, Senin (24/5/2021) seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Dalam perkara ini sebelumnya JPU menuntut terdakwa dengan hukuman 200 bulan kurungan penjara. Mahkamah Syar'iyah Kabupaten Aceh Besar kemudian menjatuhkan vonis sesuai tuntutan jaksa tersebut atau setara 16,6 tahun bui.
Namun, terdakwa bersama kuasa hukumnya mengajukan banding ke Mahkamah Syar'iyah Aceh.
Akhirnya Mahkamah Syar'iyah Aceh pun membebaskan terdakwa dari vonis pengadilan sebelumnya, juga memulihkan hak-hak lainnya.
Putusan bebas tersebut dibacakan dalam sidang yang berlangsung di Mahkamah Syar'iyah Aceh, Kamis (20/5). Sidang ini dipimpin oleh Misharuddin bersama dua anggota masing-masing, M Yusar dan Khairil Jamal.
"Menyatakan terdakwa DP bin J tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan jarimah pemerkosaan terhadap orang yang memiliki hubungan mahram dengannya, sebagaimana dakwaan alternatif kedua, yang diatur dalam pasal 49 Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat," demikian isi putusan tersebut yang bernomor 7/JN/2021?MS-Aceh tersebut.
Dalam putusan itu, majelis hakim juga meminta agar terdakwa DP dibebaskan dari segala tuntutan hukum dan dikeluarkan dari tahanan seketika itu juga.
"Memulihkan hak terdakwa DP bin J dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya," tulis putusan tersebut.
Putusan banding dari Mahkamah Syar'iyah Aceh itu sendiri telah menimbulkan reaksi di tengah masyarakat, terutama di provinsi Serambi Makkah tersebut. Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak (KPPA) Aceh, Firdaus Nyak Idin menilai pelaku rudapaksa anak semakin membuktikan bahwa Qanun Jinayat sangat tidak berpihak pada anak korban kekerasan seksual.
"Kalau qanunnya saja 'nirperspektif perlindungan anak', bagaimana kita bisa berharap pada sumber daya manusianya yang kemungkinan besar juga 'nirperspektif perlindungan anak'," kata Firdaus D Nyak Idin saat dikonfirmasi.
Apalagi menurutnya pengalaman hakim Mahkamah Syar'iyah yang terbiasa menangani perkara perdata, menurutnya kemungkinan besar pun rendah pengalaman dalam menangani perkara pidana, termasuk kekerasan seksual terhadap anak.
"Sejak dulu KPPA menolak Qanun Jinayat dan Mahkamah Syar'iyah menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak. Karena sejak awal disusunnya Qanun Jinayat, tidak melibatkan para pihak yang memiliki perspektif perlindungan anak," ucap Firdaus.
Untuk itu, KPPAA mendesak Pemerintah Aceh melalui Dinas Syariat Islam dan DPR Aceh, agar segera merevisi Qanun Jinayat terutama pasal terkait anak.
"Qanun Jinayat dan Mahkamah Syar'iyah sebaiknya tak usah mengurus masalah pidana terkait anak yang tak mereka pahami sama sekali," ujarnya.