Direktur Eksekutif CERI: Nasib Rakyat Riau Dapat Warisan Limbah Beracun dari Chevron
RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU – Harapan besar masyarakat Riau di sekitar Blok Rokan yang awalnya sudah dibuai mimpi bakal segera menikmati gurihnya hasil minyak bumi yang selama 94 tahun mereka tonton disedot oleh perusahaan Chevron, kini dalam kekecewaan yang paling dalam. Sebab, sisa limbah B3 berupa Tanah Terkontaminasi Minyak (TTM) yang akan dinikmati mereka ke depannya.
Menurut Yusri Usman, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), masyarakat telah mendengar informasi yang beredar bahwa saat penyerahan alih kelola blok Rokan dari PT Chevron Pasifik Indonesia (CPI) kepada Pertamina Hulu Rokan pada 8 Agustus 2021 yang ternyata hingga sekarang masih menyisakan sekitar 7 jutaan metrik ton limbah TTM yang berada di area operasi PT CPI, termasuk di dalam Tahura dan Pusat Pelatihan Gajah Minas.
"Hal itu juga yang memantik kemarahan Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau pada 18 September 2018 silam, karena bukan upaya untuk melakukan tuntutan hukum atau upaya lain yang relevan dan akurat," ujar Yusri dalam keterangan tertulisnya, Kamis (19/5/2021).
Demikian juga Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan ( LHK) Provinsi Riau melalui Kepala Seksi Pengaduan dan Penyelesaian Sengketa, Dwipayana mengatakan, soal keberadaan limbah beracun itu telah berlangsung lama. Lebih dari 15 tahun dilaporkan masyarakat namun sampai kini PTCPI tidak punya itikad baik menyelesaikan tanggung jawabnya. Pemprov Riau pun hingga sekarang juga ternyata cuma masygul, seperti hanyut dalam lamunan tanpa arah.
Wajarlah jika "Kepala Suku" Yayasan Anak Rimba Indonesia (Arimbi) Mattheus mulai berkeluh berkeluh kesah ke media dan menyatakan ucapan Manager Corcom PT CPI Sonitha Purnomo yang mengatakan bahwa PT CPI akan bertanggungjawab terhadap lingkungan itu hanya pencitraan,
"Bagi kami, ucapan Sonito/CPI itu hanya pepesan kosong saja. Bagaimana mungkin bisa menyelesaikan limbah beracun sebanyak dan di luas area yang demikian dalam tempo 3 bulanan? Beranikah CPI menjaminkan sejumlah uang yang cukup sebagai retensi untuk membersihkan limbah itu hingga tuntas?," kata Mattheus beberapa waktu lalu.
Padahal, sambung Yusri Usman, Presiden Direktur CPI Albert Simanjuntak di depan DPR RI (20/1/2020) telah berkilah bahwa setiap tanah terkontaminasi minyak apabila ingin dimasukan sebagai biaya cost recovery harus mendapat izin dari kementerian KLHK serta persetujuan SKK Migas yang harus mengkontrol berapa luas tanah terkontaminasi, baru bisa laksanakan.
Kilah Albert selanjutnya kata Yusri, sebenarnya awal 2018 CPI telah melaporkan ke SKK Migas agar diizinkan menyelesaikan pemulihan TTM sebelum kontraknya di blok Rokan berakhir, sebab CPI telah menginventori terhadap titik tanah yang terkontaminasi dan meminta SKK Migas menyetujui anggaran pemulihan itu, namun SKK Migas membatasi anggaran yang bisa dimasukan dalam cost recovery. Sebab itu, banyak titik-titik yang tidak bisa dipulihkan lalu sisanya jadi tanggung jawab SKK Migas.
Gubernur Riau pada 28 April 2021 meskipun telah berkirim surat ke Menteri ESDM cq Dirjen Migas untuk menanyakan soal apa realisasi dari workshop sosialisasi pemulihan TTM pada 9 April 2021 dan keberlanjutan program pemulihan TTM tersebut, dan surat tersebut harus dijawab paling lambat tgl 4 Mei, karena Gubernur merasa bertanggung jawab harus meneruskan keluhan masyarakatnya.
"Namun, jawaban Dirjen Migas ke Gubernur Riau dalam surat tertanggal 4 Mei 2021 terkesan sangat normatif bahkan cuci tangan, karena isinya justru mengatakan bahwa selama sisa jangka waktu kontrak 08 Agustus 2021 PT CPI akan tetap melanjutkan kegiatan pemulihan limbah TTM sesuai Work Program dan Budget yang telah disetujui oleh SKK Migas. Lalu siapa yang akan bertangung jawab jika pembersihan limbah itu tidak selesai hingga 08 Agustus 2021," tambah Yusri.
Anehnya, kata Yusri, bak kura kura dalam perahu, surat Gubernur itu bukannya ditujukan bahkan tidak ditembuskan kepihak SKK Migas sebagai pihak yang paling bertanggung jawab persoalan limbah beracun ini.
Justru itu, masih kata Dirjen Migas, paska 8 Agustus 2021 kegiatan pemulihan TTM akan diselesaikan berdasarkan HOA antara PT CPI dengan SKK Migas kemudian untuk menyelesaikan pemulihan fungsi lingkungan disekitar Blok Rokan yang belum selesai, maka SKK Migas akan menugaskan Pertamina Hulu Rokan.
Dari penjelasan Dirjen Migas ini kata Yusri, telah semakin jelas bahwa telah terjadi pelanggaran oleh CPI terhadap UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 128 tahun 2003 Tentang Tatacara dan persyaratan Tehnis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi Oleh Minyak Bumi Secara Biologis yang membawa konsekuensi ancaman pidana.
"Menurut informasi yang kami peroleh, sejak awal tahun 2020 semua anggaran sekitar USD 400 juta atau setara 5,7 triliun rupiah yang bersumber dari cost recovery untuk pemulihan limbah TTM ini dikelola oleh SKK Migas. Lalu ternyata, sejak pertengahan thn 2020 hingga saat ini tidak ada kegiatan pemulihan TTM tersebut dilakukan, yang ada hanyalah menyelesaikan kontrak yang lama," ujar Yusri
Jika asumsi jumlah total TTM mencapai 7 juta metrik ton dengan biaya pemulihan USD 110 permetrik ton, maka dibutuhkan anggaran sekitar USD 770 juta atau setara RP 11 triliun uang negara untuk pemulihan total TTM diaerah operasi Chevron setelah dioperasikan oleh Pertamina Hulu Rokan.
"Kiranya, wajar kita semua bertanya mengapa kegiatan pemulihan limbah TTM itu tidak berjalan ???. Lalu dikemanakan angaran pemulihan limbah TTM itu?" tanya Yusri.
Menurutnya, wajar jika yang ada yang mengkhawatirkan, jangan-jangan ada pihak yang mendapat manfaat pribadi jika dana tersebut bisa mengendap lama di bank daripada digunakan untuk memulihkan limbah TTM.
"Kami juga mendapat informasi ada beberapa perusahaan sudah pernah menawarkan teknologi insitu untuk mengolah limbah B3 TTM bisa dioperasikan di sekitar Blok Rokan dengan biaya yang jauh lebih efisien, hanya sekitar USD 50 hingga USD 70 per metrik ton biaya pemulihan TTM nya. Teknologi itu sudah pernah dipresentasikan di depan pejabat SKK Migas dan KLHK dengan apresiasi yang baik, bahkan sudah digunakan dilapangan Duri dengan hasil sangat memuaskan dari tahun 2000 hingga 2016, yaitu termasuk menginjeksi pasir pasir yang terikut dalam minyak yang diproduksi kedalam sumur injeksi, anehnya tawaran teknolgi ini tidak pernah ditanggapi dan diaplikasi oleh pihak PT CPI di Blok Rokan hingga saat ini," jelasnya.
Padahal menurutnya, selama ini biaya untuk mengangkut limbah TTM dari Blok Rokan kelokasi pemusnahan di PPLI Cibinong atau pabrik semen di pulau Jawa bisa mencapai sekitar Rp 900.000 per metrik ton, belum termasuk biaya pemusnahan sekitar Rp 400.000 sd Rp 600.000 permetrik ton, sehingga totalnya biaya pemusnahaan bisa mencapai Rp 1,5 juta atau USD 110 hingga USD 150 permetrik ton.
"Sebab itu lah, heran bin aneh jika SKK Migas tidak menerima dan mengaplikasikan solusi yang baik dan lebih effisien untuk memulihkan kondisi lingkungan hidup diwilayah Blok Rokan dengan menerapkan sekaligus untuk menyelamatkan keuangan negara dan lingkungan hidup masyarakat setempat," Yusri mengakhiri.***