Penanganan Covid-19 Dinilai Tidak Substansial, Pengamat: Pemerintah Galau!
RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - Pengamat Kebijakan Publik Universitas Riau, Zaili Rusli mengkritik upaya penanganan dan pengendalian Covid-19 yang dilakukan pemerintah, terutama jelang perayaan Idul Fitri 2021. Menurutnya, apa yang dilakukan pemerintah, misalnya pelarangan mudik, penyemprotan desinfektan di jalan-jalan yang disebut konyol oleh WHO karena terbukti sia-sia, dan sebagainya, tidak substansial dan terkesan asal-asalan.
"Sebenarnya akar masalahnya itu ada di ketidakkonsistenan pemerintah selama ini. Artinya, mereka asal mengimplementasikan kebijakan tidak pernah substansial dan memperhatikan akar masalahnya di tengah masyarakat," ujar Rusli kepada Riaumandiri.co, Senin (10/5/2021).
"Sekarang, substansi dilarang mudik ini apa? Orang dilarang mudik, malah berkumpul ke mal. Malah kumpul sana-sini. Jadi, masyarakat yang sudah tahunan terdampak pandemi--dilarang ini, dilarang itu--sudah tidak lagi acuh dengan aturan-aturan itu. Artinya, pemerintah tidak pernah membuat kebijakan sesuai fenomena yang berkembang di tengah masyarakat," tambahnya.
Diketahui, larangan mudik mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan di beberapa daerah di Indonesia. Pada hari pertama larangan mudik, Kamis (6/5) viral video Simpang Garuda Sakti Panam, Pekanbaru disekat dan ditutup yang menyebabkan kendaraan bertumpuk dan macet panjang dari arah Rimbo Panjang.
Di Bekasi, ribuan pemudik menjebol barikade penyekatan di Jalur Pantura Kedungwaringin, perbatasan Kabupaten Bekasi-Karawang, pada Minggu (9/5) malam.
Masyarakat juga diketahui tidak sedikit yang berhasil mudik lewat jalan-jalan tikus.
"Makanya bolehkan saja mudik, tapi diatur. Pastikan jaga protokol kesehatan. Pastikan sehat, jadi tidak menularkan ke orang di kampung. Kan substansinya soal penyebaran Covid-19. Sekarang mudik dilarang itu yang tidak jelas substansinya apa," kata Rusli.
Selain soal mudik, Rusli juga mengkritik bolehnya tenaga kerja asing (TKA) masuk ke Indonesia. Kebijakan tersebut dinilai bertolak belakang dengan aturan larangan mudik. Padahal, gelombang kedua Covid-19 tengah terjadi di banyak negara, khususnya India. Berbagai varian virus Corona juga berpotensi besar dibawa para warga negara asing (WNA) itu masuk ke Indonesia.
"Selain itu juga, pemerintah jarang sekali menanggapi kabar-kabar hoax yang berseliweran. Tidak di-counter. Jadi seolah-olah betul. Pemerintah harus mengkonfirmasi hoax itu. Tidak bisa dibiarkan saja," ungkapnya.
Kemarin, diberitakan 157 WNA dari China telah masuk ke Indonesia pada Sabtu (8/5) melalui Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Pada hari-hari sebelumnya, puluhan WNA lainnya juga diketahui diizinkan masuk. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mengatakan para WNA telah sesuai standar keimigrasian dan bebas dari Covid-19.
“Seluruh WNA telah memenuhi aturan keimigrasian dengan jenis visa dan kegiatan yang sesuai dengan Peraturan Menkumham Nomor 26 tahun 2020, yaitu untuk kegiatan bekerja, bukan untuk kunjungan wisata. Juga, petugas imigrasi tidak akan memberikan izin masuk jika para penumpang tidak lulus pemeriksaan kesehatan sesuai protokol kedatangan orang dari luar negeri yang ditentukan oleh Satgas Penanganan Covid-19,” jelas Direktur Jenderal Imigrasi Kemenkumham, Jhoni Ginting dikutip dari Antara.
Sementara, sejak Desember 2020 hingga April 2021 setidaknya ada 2.680 kasus Positif Covid-19 yang berasal dari pekerja migran WNI dan WNA. Mereka terbukti membawa dokumen negatif Covid-19 palsu saat masuk ke Indonesia agar lolos pemeriksaan.
"Yang kita sudah lihat mereka yang datang membawa dokumen negatif Covid-19, namun kenyataannya setelah diperiksa, swab pertama positif Covid-19. Di swab pertama terjaring 1.867 orang padahal bawa dokumen negatif Covid-19. Kemudian dipisahkan yang negatif melakukan karantina, yang positif Covid-19 dilakukan isolasi untuk perawatan. Setelah 5 hari, diswab lagi, ternyata yang positif corona 813 orang," beber Kepala BNPB, Doni Monardo dalam Rapat Koordinasi Satgas Covid-19 pada (18/4/2021) dikutip dari Detik.
Rusli Zaili mengatakan pemerintah galau, sehingga kerap mengambil kebijakan yang tidak sesuai dan relevan dengan apa yang terjadi di tengah masyarakat.
"Galaunya entah karena pemahaman mereka tentang Covid-19 yang kurang, atau anggaran untuk penanganan itu yang sudah habis. Saya kira penanganan Covid-19 sekarang sudah bukan lagi murni demi kesehatan semata, tapi sudah terkait persoalan-persoalan politik," tutupnya.