Sejumlah Fakta Persidangan Kasus Suap-Gratifikasi Zulkifli AS Terungkap
RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU – Lokasi penahanan terhadap mantan Wali Kota Dumai, Zulkifli Adnan Singkah telah dipindahkan ke Rumah Tahanan Negara Kelas I Pekanbaru. Dari sana, dia mengikuti jalannya persidangan perkara yang menjeratnya.
Ada dua perkara yang menjerat Zulkifli AS. Yaitu, dugaan suap pengurusan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kota Dumai dalam APBN-P 2017 dan APBN 2018. Selain itu, dia juga diduga menerima gratifikasi dari sejumlah perusahaan.
Sidang perdana telah digelar pada Kamis (1/4) kemarin. Adapun agenda sidang adalah mendengarkan dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saat itu, dia menjalani sidang dari Rutan Metro Polres Jakarta Timur, Jakarta.
Namun pada Rabu (14/4) ini, terdakwa Zulkifli AS sudah bisa mengikuti jalannya sidang dari Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas I Pekanbaru. Hal itu setelah JPU memindahkan lokasi penahanan Zulkifli AS berdasarkan penetapan majelis hakim yang diketuai Lilin Herlina sebelumnya.
Pada sidang kali ini, JPU menjadwalkan pemeriksaan 5 orang sebagai saksi. Mereka adalah Ali Ibnu Umar, mantan Kasubag Program pada Dinas Pendidikan (Disdik) Dumai atau Pengusul RKA DAK APBN-P 2017 Dinas Pendidikan.
Berikutnya, Syaiful yang merupakan mantan Direktur RSUD Dumai atau Pengusul RKA DAK 2017 dan 2018 RSUD Dumai. Lalu, Watono, mantan Kasi Program RSUD Dumai atau Pengusul pengusul RKA DAK 2017 dan 2018 RSUD Dumai.
Selanjutnya, Vera Chyntiana, Ketua Pokja ULP yang juga keponakan dari terdakwa. Terakhir Mashudi, swasta atau Marketing PT Ravindo, yang merupakan donatur terdakwa untuk memberi suap kepada Yaya dan Rifa Surya dari Kementerian Keuangan.
Kelima saksi dihadirkan langsung di ruang sidang. Kesaksian pertama diberikan Syaiful. Dia ditanya tentang tugas pokok dan fungsi yang diembannya, dan pengajuan DAK dari RSUD Kota Dumai melalui APBNP 2017 dan APBN 2018.
Menurut Syaiful, pihaknya mengajukan DAK tahun 2016, 2017 dan 2018. Dana itu dihimpun dari masing-masing bidang di RSUD Dumai setiap awal tahun, lalu diteruskan ke provinsi.
Usulan terkait pengadaan alat kesehatan dan lainnya. Setelah disetujui provinsi, dan ditandatangani Wako, proposal dikirim ke Pusat.
"Untuk alat kesehatan 2017, usulannya Rp13,9 miliar," ujar saksi Syaiful.
Dari usulan itu, DAK terealisasi sebesar Rp20 miliar dan langsung masuk ke APBD Kota Dumai. Pencairan dana itu dilaporkan saksi ke Zulkifli AS.
"Setelah dana cair, kegiatan 2017 di RSUD Kota Dumai dilaksanakan," sebut dia.
Saksi menyebut, tidak ada intervensi dari terdakwa Zulkifli AS dalam pengajuan usulan. Menurut saksi, terdakwa juga tidak meminta bantuan anggaran.
Namun terdakwa pernah menghubungi saksi terkait pelaksanaan kegiatan di RSUD Kota Dumai. "Beliau mengontrol," sebut Syaiful ke Yosi Andika Herlambang selaku JPU.
Saksi juga menjelaskan pernah dihubungi oleh Zulkifli AS lewat sambungan telepon. Ketika itu terdakwa mempertanyakan tentang kegiatan makan dan minum.
Kepada Syaiful, terdakwa mengarahkan kalau ada pihak dari Wakil Wali Kota Dumai, Eko Suharjo, yang berminat ikut lelang kegiatan makan dan minum tersebut. Perusahaan itu adalah CV Atifah Jaya.
Hakim mempertanyakan apakah setelah perusahaan itu menang memberikan sesuatu kepada Wali Kota, Syaiful mengatakan tidak ada. Dia juga mengaku tidak mengetahui siapa pemilik perusahaan tersebut.
Tidak hanya itu, Syaiful juga ditanya terkait pengadaan jasa pembangunan gedung ICU di RSUD Dumai tahun 2017. Proyek itu dikerjakan oleh Jhon Simbolon tapi tidak selesai dan perusahaan itu masuk dalam daftar hitam.
"Kontraktor (Jhon Simbolon,red) gedung ICU. Pekerjaan tidak diselesaikan, dan di-blacklist," terang saksi.
Anehnya, meski perusahaan itu sudah di-blacklist dan tidak boleh ikut lelang proyek, ternyata tetap mendapat proyek di RSUD Dumai pada 2018. Jhon dipercaya mengerjakan ruangan kesehatan rawat inap kelas III.
"Kan sudah diblacklist, kenapa dapat pengadaan ruang rawat inap kelas III lagi," tanya hakim kepada Syaiful.
Terkait hal itu, Syaiful mengaku tidak mengetahuinya karena sudah tidak lagi menjabat sebagai Direktur RSUD Dumai.
Terkait keterangan itu, Terdakwa Zulkifli AS menyatakan keberatannya tentang mengarahkan pemenang lelang kegiatan makan minum. Dia juga membantah meminta agar spek pekerjaan diatur agar perusahaan bisa menang.
"Masalah kegiatan makan minum. Saya menanyakan, apakah benar kalau kalimat atur aja speknya agar dapat sama dia, tidak ada," kata Zulkilfli saat diberi kesempatan menanggapi keterangan saksi Syaiful.
Namun saksi tetap pada keterangannya. "Itu disebutkan melalui telepon," singkat saksi Syaiful.
Saat itu, Syaiful menjadi saksi satu-satunya yang bisa didengarkan keterangannya. Majelis hakim menunda persidangan pada pekan depan karena adanya gangguan jaringan.
Zulkifli AS ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 3 Mei 2019. Dia mulai ditahan KPK di Rutan Polres Metro Jakarta Timur pada 17 November 2020.
Diketahui, dalam dakwaan pertama,Tim JPU menyatakan, perbuatan terdakwa terjadi pada medio 2016 sampai 2018. Saat itu telah terjadi pemberian uang secara bertahap yang dilakukan di sejumlah tempat di Jakarta.
Terdakwa memberikan uang secara bertahap kepada Yaya Purnomo selaku Kepala Seksi Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Pemukiman pada Direktorat Evaluasi Pengelolaan dan Informasi Keuangan Daerah pada Direktorat Jenderal Perimbangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Uang juga diberikan kepada Rifa Surya selaku Kepala Seksi (Kasi) Perencanaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik II, Subdirektorat DAK Fisik II dan Kasi Perencanaan DAK Non fisik.
Uang diberikan sebesar sebesar Rp100 juta, Rp250 juta, Rp200 juta dan SGD35,000.
Dalam pengurusan DAK APBN 2017, terdakwa memerintahkan Marjoko Santoso selaku Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Daerah (Bappeda) Kota Dumai untuk pengurusan DAK melalui Yaya Purnomo. Atas perintah itu, Marjoko menemui Yaya di Hotel Aryaduta Jakarta, pada Agustus 2016.
Saat itu Yaya bersama Rifa membicarakan pengurusan DAK untuk bidang pendidikan, jalan dan rumah sakit," lanjut Jaksa, dimana Zulkifli AS mendengarkan dakwaan itu di Jakarta melalui skema video teleconfrence.
Pada saat pertemuan itu, pengajuan usulan DAK APBN 2017 Kota Dumai dalam tahap belum diverifikasi oleh Kementerian Keuangan karena Pemerintah Kota (Pemko) Dumai belum memiliki admin tingkat nasional. Selanjutnya, Yaya dan Rifa memberikan kode admin kepada Marjoko.
Saat itu, Marjoko menyerahkan proposal berisi usulan DAK APBN 2017 sebesar Rp154.873.690.000 kepada Yaya dan Rifa untuk dilakukan analisa dan verifikasi.
Pertemuan kembali dilakukan pada September 2016. Ketika itu Zulkifli AS bersama Marjoko, bertemu Yaya dan Rifa di Jakarta. Yaya dan Rifa menyanggupi permintaan DAK APBN 2017 Kota Dumai.
Syaratnya, ada biaya pengurusan sebesar 2,5 hingga 3 persen dari nilai pagu yang ditetapkan. Permintaan itu disanggupi oleh terdakwa.
Pada November 2016, Marjoko diperintahkan oleh Zulkifli untuk memberikan uang kepada Yaya dan Rifa sebesar Rp100 juta. Uang diserahkan di Bandara Sukarno-Harta, Tangerang, Banten.
Pemberian uang berlanjut pada Desember 2016 di Jakarta. Marjoko atas perintah terdakwa kembali memberikan uang kepada Yaya dan Rifa sebanyak Rp250 juta.
Dalam melancarkan tujuannya, Zulkifli melalui bawahannya juga melibatkan kontraktor untuk mendapatkan persetujuan dari Kementerian Keuangan. Pasalnya, DAK Pemko Dumai tahun 2016 mengalami kurang bayar sebesar Rp22.354.720.000.
Zulkifli memerintahkan Sya'ari selaku Kepala Dinas Pendidikan Kota Dumai untuk mencari pihak rekanan yang mampu menyiapkan komitmen fee untuk Yaya dan Rifa, agar DAK APBN-Perubahan 2017 Kota Dumai dapat diterima oleh Kementerian Keuangan.
Selanjutnya Sya'ari memberitahu kepada terdakwa bahwa ada calon rekanan yang mampu menyiapkan komitmen fee. Calon rekanan itu adalah Arif Budiman dan Mashudi.
Atas hal itu Sya'ari menyampaikan, paket pekerjaan yang bersumber dari APBN-Perubahan TA 2017 Kota Dumai, dengan perkiraan pagu anggaran sebesar Rp7,5 miliar, untuk Arif Budiman. Dengan catatan, ada komitmen fee sebesar Rp150 juta dan hal itu disanggupi Arif Budiman.
Untuk Mashudi diberi paket kegiatan pekerjaan yang bersumber dari APBN-Perubahan TA 2017 Kota Dumai dengan perkiraan pagu anggaran sebesar Rp2,5 miliar. Syaratnya, komitmen fee Rp50 juta, dan Mashudi juga menyanggupinya.
Dalam perkara itu, Zulkifli AS dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf b Jo Pasal 13 Undang-undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP
Selain itu, JPU juga mendakwa Zulkifli menerima gratifikasi sebesar Rp3.940.203.152. Uang tersebut diterimanya dari pemberian izin kepada perusahaan yang mengerjakan proyek di Kota Dumai dan pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemko Dumai.
Dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, terdakwa menerima uang terkait pemberian izin kepada perusahaan yang mengerjakan proyek di Kota Dumai dan Pengadaan Barang dan Jasa di lingkungan Pemerintah Kota Dumai.
Tindakan itu dilakukan pada 2016 dengan cara memberikan arahan kepada Hendri Sandra selaku Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Dumai agar menyampaikan kepada perusahaan-perusahaan yang mengajukan izin pengerjaan proyek di Kota Dumai supaya melibatkan Yudi Antonoval dalam pengerjaan proyek.
Bahwa pada tahun 2017-2018, Yudi mendapatkan paket pekerjaan pada Pemasangan Pipa Gas pada Proyek Pengembangan Jaringan Distribusi Dumai (PJDD). Kemudian Zulkifli secara bertahap menerima uang dari Yudi sejak 2017.
Zulkifli juga menerima uang dari Rahmayani, Muhammad Indrawan, Hermanto, Yuhardi Manaf, Nanang Wisnubroto dan Hendri Sandra. Uang diperuntukkan kepentingan Zulkifli.
Dari dakwaan juga ada uang untuk biaya ritual doa keberhasilan Zulkilfi dan keluarganya, pembelian barang antik, pembalikan bata terkait pembangunan rumah Zulkifli di Jalan Bundo Kandung Pekanbaru.
Ada juga pemberian uang untuk dengan menggunakan kartu debit, untuk biaya pembayaran pembelian tanah di Jalan HM Sidik Kelurahan Pelintung Kecamatan Medang Kampai Kota Dumai dan untuk pembayaran pada aplikasi Traveloka.
Ada juga uang diberikan kepada Media Riau Pesisir terkait sumbangan untuk penyewaan posko pemenangan, Syamsuar dan Edi Natar Nasution sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Riau. Jumlahnya sebesar Rp20 juta.
Uang juga diberikan untuk PT Mitra Mulia Sentosa terkait penyertaan modal bisnis anak Zulkifli atas nama Nanda Octavia, sebagai pemilik Rumah Sakit Yasmin. Ada juga pemberian uang untuk pembayaran jasa pengacara pada Kantor Hukum SAM & Partners untuk keperluan Zulkifli.
Tidak hanya itu, ada penerimaan uang untuk pembelian perabot kamar tidur di rumah Zulkifli, pembelian bahan batik di Toko Mumbay Tekstile.
Sejak menerima uang Rp3.940.203.152, terdakwa tidak melaporkannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dalam tenggang waktu 30 hari sebagaimana dipersyaratkan UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Atas hal itu, Zulkifli AS disangkakan dalam Pasal 12B Jo Pasal 11 Undang-undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU RI nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.