Dewan Nilai Wako Firdaus Gagal Paham soal Swakelola Sampah
RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - Anggota Komisi IV DPRD Pekanbaru, Roni Pasla menilai Wali Kota Pekanbaru, Firdaus gagal paham dengan swakelola sampah yang dianjurkan dewan.
"Komisi IV jauh-jauh hari saat pembahasan anggaran sudah mengingatkan DLHK untuk pengangkutan sampah kita minta untuk di swakelola, hal ini dapat mengurangi beban anggaran pengangkutan sampah hingga 50% dari sebesar Rp60miliar setahun pada 2020," ujar Roni, Rabu (17/3/2021).
Dengan sistem swakelola, teknis angkutan sampah diserahkan kepada kelurahan dan kecamatan, yang tentu saja lebih mengetahui kebutuhan pengangkutan sampah di lingkungan mereka sesuai tonase sampah yang dihasilkan oleh masyarakat setempat.
Untuk mengurangi jumlah sampah yang dibuang ke TPA Muara Fajar, Roni menyarankan Pemko Pekanbaru melalui camat dan lurah berinovasi, salah satunya membuat bank sampah.
"Yang kalau kita rata-ratakan setiap kelurahan butuh 1 dump truk untuk pengangkutan sampah, tentu kita harapkan kelurahan bisa membuat inovasi untuk mengurangi volume sampah., seperti mendirikan bank-bank sampah di setiap RW. Dan sampah organik atau sampah basah dapat diolah seperti menjadi pupuk dan lain sebagainya. Sehingga volume sampah yang akan diangkut ke TPA Muara Fajar akan jauh berkurang," katanya.
Sebaliknya, DPRD Pekanbaru justru akan memberikan dukungan penuh apabila Pemko Pekanbaru mengambil kebijakan swastanisasi untuk mengelola sampah yang ada di TPA Muara Fajar.
"Sementara swastanisasi yang kita rekomendasikan adalah pengelolaan TPA muara fajar. Selama ini untuk pengelolaan TPA Muara Fajar Pemko melakukan swakelola yang akhirnya alat beratnya selalu rusak. Pengelolaannya kacau," ujarnya.
"Jadi inilah perbedaan konsep swakelola dan swastanisasi antara DPRD Kota Pekanbaru dengan Pemko Pekanbaru," tutupnya.
Sebelumnya, Wali Kota Pekanbaru, Firdaus tegas menolak ide swakelola sampah yang dianjurkan berbagai pihak, sebab swakelola dianggap lebih efisien dan hemat pengeluaran. Firdaus mengatakan, ide swakelola tidak relevan untuk kota megapolitan macam Kota Pekanbaru.
"Swakelola itu cocoknya untuk mengelola sampah di kota kecil. Pekanbaru ini metropolitan. Bahkan bisa dibilang sudah megapolitan," ungkapnya kemarin, Senin (16/3/2021).
Selain itu, Firdaus juga beralasan dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang otonomi daerah. Ia mengatakan, Kota Pekanbaru adalah kota besar yang memiliki masalah sosial yang juga besar, terutama volume sampah per harinya. Maka, sudah sewajarnya pemerintah tidak menangani sendiri persoalan ini, akan tetapi diserahkan kepada pihak ketiga.
"Tata kelola pemerintah yang baik itu, pemerintah yang melibatkan masyarakat lebih besar dalam pembangunan, terutama masyarakat dunia usaha. Maka urusan persampahan, perparkiran, tidak bisa lagi kita kerjakan sendiri," jelasnya.
"Personil kita di strukturan sedikit sekali. Kemudian dengan sampah sebanyak ini, dikeola personil strukrural yang bukan profesional, itu tidak akan maksimal. Lalu kalau kita kerja sendiri, kita perlu jumlah peralatan yang besar. Itu harganya mahal. Belum lagi perawatan, kelalaian-kelalaian lain. Intinya lebih mahal daripada kita menyewa barang dan jasa," tambahnya.
Firdaus menegaskan, kembali ke sistem lama, swakelola, dipastikan tidak akan bisa. Selain disebabkan alasan-alasan di atas, ia juga mengatakan praktik curang di lapangan menjadi salah satu penyebab gagalnya pemerintah menyelesaikan persoalan sampah.
"Di periode saya yang pertama, memang kita masih pakai sistem lama. Tapi pada 2013-2014, sudah tidak bisa lagi. Pola yang lama, praktek di lapangan banyak curang. Itulah makanya kita tidak bisa maksimal," ujarnya.