Mengawal Ujian Nasional
Salah satu janji Presiden Jokowi pada saat kampanye kini ditepati. Pada waktu itu ia berjanji akan menghapuskan Ujian Nasional di tingkat Sekolah Dasar (SD), sementara untuk tingkat Sekolah Menengah akan tetap dilaksanakan namun bukan sebagai syarat kelulusan.
Secara umum, masyarakat tentu menyambut baik kebijakan ini mengingat di tahun-tahun sebelumnya, Ujian Nasional menjadi momok yang sangat menakutkan baik bagi siswa maupun guru. Para siswa khawatir nilainya tidak mencapai standard kelulusan. Pun, guru khawatir ketidaklulusan siswa akan mempengaruhi reputasi sekolah di mata pemerintah dan masyarakat.
Hal ini membuat kecurangan demi kecurangan selama pelaksanaan Ujian Nasional tidak terelakkan. Mencontek massal, pengatrolan nilai UAS (ujian akhir sekolah) oleh sekolah, kongkalikong pengawas dari luar dengan pihak sekolah yang diawasi, sampai ada pihak yang menjual kunci jawaban, adalah “peristiwa biasa” dalam UN. Namun, pemerintah (Kemendikbud) jalan terus dengan UN meski pada 2009 MK memutuskan pelaksanaan UN ditinjau kembali.
UN dianggap hanya memperkuat aspek kognitif siswa, yakni mengingat dan menghafal. Bukan pada kejujuran, tanggung jawab, daya nalar untuk menganalisis suatu kasus, dan berpikir holistik. UN juga mengandung horor tersendiri bagi anak didik, guru, dan orangtua murid.
Ketidaklulusan dianggap sebagai hal yang tabu. Model doa bersama pun ramai dilakukan dengan harapan mendapat kemudahan dari Tuhan agar bisa menjalani UN dengan hasil yang memuaskan. Akibatnya fokus pembelajaran dititikberatkan pada tujuan kelulusan siswa.
Sebuah Apresiasi
Pendidikan di Finlandia menganut sebuah prinsip: “Prepare the kids for life, not for test.” Pendidikan sejatinya mengandaikan proses yang kontinu, proses perubahan kondisi anak didik dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak paham menjadi paham, dari tidak bisa menjadi bisa. Karena kehidupan berkembang dan masalah juga beragam, anak didik juga diharapkan memiliki nalar kritis-analitis untuk mengidentifikasi masalah, dan kemudian menemukan solusinya.
Maka patut rasanya kita mengapresiasi keberanian pemerintah dalam mengevaluasi pelaksana Ujian Nasional tahun ini. Sebagaimana saran yang telah diajukan oleh Ombudsman Republik Indonesia tahun lalu kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, perubahan pola kebijakan UN yang bersandar pada pencapaian standar kompetensi lulusan pada mata pelajaran tertentu secara nasional memang perlu dilakukan.
Dengan perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, Pasal 68, kegunaan UN menjadi salah satu pertimbangan untuk (1) pemetaan mutu program dan/atau satu an pendidikan; (2) sebagai dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; (3) sebagai dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya meningkatkan mutu pendidikan; dan (4) bukan sebagai penentuan kelulusan dari satuan pendidikan.
Kebijakan ini tentu saja akan membuat kondisi psikologis siswa, guru, dan orangtua menjadi lebih baik karena anak-anak mereka dididik dan dibina bukan untuk pencapaian nilai semata, melainkan kecakapan hidup yang lebih menghargai kemanusiaan.
Menjadikan sekolah sebagai basis dan unit analisis sebuah kebijakan memang seharusnya menjadi keniscayaan yang berifat imperatif. Pemerintahan harus memberikan kepercayaan terhadap sekolah untuk menentukan apa yang terbaik dan seharusnya mereka lakukan untuk meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar di sekolah masing-masing.
Catatan Perbaikan
Di balik apresiasi itu, terkait pelaksanaan Ujian Nasional, bukan berarti pemerintah boleh berpuas diri. Penulis setidaknya merangkumkan ada dua catatan kritis yang barangkali dapat dicermati pemerintah guna perbaikan layanan pendidikan di tahun-tahun mendatang.
Pertama, nilai Ujian Nasional tahun ini masih digunakan sebagai dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya. Artinya, bagi siswa yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi Negeri harus berupaya mencapai nilai UN tinggi agar dapat bersaing dengan siswa-siswi lainnya.
Akibatnya, kembali lagi pada apa yang kita persoalkan selama ini, siswa “dipaksa” menggunakan segala daya untuk mendapatkannya. Jika upaya itu adalah dengan berlajar keras, tentu harus didukung dan diapresiasi. Namun tampaknya, syarat yang satu ini justru akan mendorong anak menggunakan kecurangan-kecurangan seperti yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya.
Hal ini bagaimanapun akan mereduksi tujuan kita bersama yakni menjadikan dunia pendidikan sebagai dasar pembinaan moral dan kepribadian bagi siswa.
Kedua terkait dengan pelaksanaan Ujian Nasional berbasis komputer (Computer Based Test) atau UN CBT yang tahun ini diterapkan oleh sebagian sekolah di beberapa daerah, dinilai terlalu dipaksakan. Pemerintah tampaknya belum mempersiapkannya secara matang.
Hal ini diakui oleh salah seorang Kepala Sekolah di Jakarta Timur ketika tim kami dari Ombudsman melakukan monitoring ke se kolah penyelenggara UN CBT sekitar dua minggu yang lalu.
Menurutnya, persiapan di sekolah tidak terlalu maksimal karena sosialisasi dari pemerintah baru disampaikan sekitar bulan Februari. Terutama di daerah, sekolah penyelenggara UN CBT lebih rentan mengalami masalah. Bagaimana jika sedang melaksanakan ujian, tiba-tiba listrik padam? Kekhawatiran ini tentu bukan tanpa alasan.
Indonesia, terutama di daerah sedang terjadi krisis energi sehingga diambil kebijakan (sepihak) memadamkan listrik dengan alasan penghematan. Di Sumatera Utara misalnya, pemadaman ini kerap dilakukan dalam rentang dan durasi yang tidak menentu. Di daerah lain barangkali tidak jauh berbeda. Kita berharap, baik Dinas Pendidikan maupun sekolah telah melakukan antisipasi awal, misalnya dengan berkoordinasi dengan PLN setempat.
Catatan ini, sesungguhnya tidak bertujuan memberikan saran kepada pemerintah un-tuk menunda apalagi membatalkan pelaksanaan UN CBT. Lagipula, UN CBT diberlakukan bagi sekolah yang merasa siap baik dari segi SDM maupun sarana prasarananya. Tentu setiap kebijakan yang diterapkan telah melalui banyak pertimbangan. Semoga saja apa yang diharapkan pemerintah dari pelaksanaan Ujian Nasional tahun ini dapat tercapai. Hanya saja, ke depan perlu kesiapan yang lebih matang sehingga sekolah-sekolah pun dapat mempersiapkan lebih dini.
Sebagai penutup, penulis berharap, publik bersikap proaktif selama pelaksanaan Ujian Nasional. Laporkan segala bentuk kecurangan dan maladministrasi lainnya kepada Ombudsman Republik Indonesia. Mari bersama-sama mengawal dan mengawasi seluruh pelayanan publik di Negara kita.(***)
(Penulis Asisten pada Ombudsman Republik Indonesia)