Partai tak Pernah Beri Pendidikan Politik pada Masyarakat Jadi Penyebab Kecurangan Pilkada
RIAUMANDIRI.ID, PEKANBARU - Jelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak pada 9 Desember 2020 yang tinggal menghitung hari, banyak pihak mewanti-wanti kecurangan yang biasa terjadi, misalnya politik uang dan segala macamnya.
Upaya terus dilakukan untuk mengentaskan kecurangan-kecurangan tersebut. Seperti yang dilakukan Polisi dan Bawaslu. Mereka rencananya akan melakukan patroli, membasmi praktik money politic. Para pelaku akan diberi sanksi sesuai UU yang berlaku.
Namun, bagaimama kecurangan bisa selalu terjadi di setiap pemilihan sedangkan beragam upaya terus dilakukan oleh pemerintah?
Pengamat Politik Unri, Tito Handoko menjelaskan, satu poin yang kerap dilupakan praktisi politik di Indonesia, yakni pendidikan politik masyarakat.
"Permasalahan ini semua berasal dari pendidikan politik masyarakat. Partai-partai kita tidak pernah melaksanakan pendidikan politik secara langsung kepada masyarakat di akar rumput. Sangat lemah. Bahkan bisa dihitung jumlah pendidikan yang mereka berikan ke masyarakat," ungkap Tito.
"Kalau kader-kadenya iya. Pasti diberikan pendidikan. Tapi itu kan internal, kita maunya eksternal. Jadi masyarakat bisa dewasa dalam berpolitik. Misalnya jangan lagi ada persepsi bahwa pemilihan itu hanya kegiatan pesta lima tahunan saja. Tapi sebuah esensi untuk memilih orang-orang potensial membangun wilayahnya," tambahnya.
Kegiatan pendidikan politik kepada masyarakat tidak bisa hanya dilakukan secara temporer, misalnya per lima tahun sekali menjelang dilaksanakan pemilihan, tapi harus terus menerus dan konsisten.
"Hampir semua lembaga politik tidak menjalankan ini. Yang menjalankan justru NGO, tapi ya tidak intens juga. Harapan kita ya pendidikan politik itu intenslah, daily," ujar Tito.
Partai politik memiliki struktur hingga ke tingkat yang paling rendah seperti desa. Maka menurut Tito, struktur paling dasar itu yang harus terus melakukan pendidikan kepada masyarakat. Sebab, pemilih dari level masyarakat kelas bawah merupakan pemilih terbanyak di Indonesia.
"Iya. Pemilih itu banyaknya di akar rumput, di grassroot. Kalau elit politik kan cuma sedikit," katanya.
Reporter: M Ihsan Yurin