Kekerasan Terhadap Jurnalis, Organisasi Pers Ancam Gugat Presiden Jokowi dan Kapolri
RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA – Komunitas pers mempertimbangkan untuk menggugat Presiden dan Kapolri karena dinilai melakukan pembiaran terhadap kekerasan terhadap jurnalis di berbagai daerah Indonesia.
Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Mona Ervita mengatakan, sebagian besar kasus kekerasan terhadap jurnalis yang dilaporkan ke polisi tidak ada kejelasan.
Semisal tujuh kasus kekerasan yang terjadi pada aksi September tahun lalu di Jakarta dan Makassar.
Hingga kemudian kasus kekerasan terhadap jurnalis kembali terjadi pada aksi tolak Undang-undang (UU) Cipta Kerja sepanjang 7-12 Oktober 2020.
Karena itu, kata Mona, lembaganya bersama komunitas pers lainnya mempertimbangkan untuk menggugat Presiden dan kepolisian karena dinilai melakukan pembiaran kasus kekerasan terhadap jurnalis.
"Kalau menurut saya ini sudah pembiaran terstruktur. Dan kita harus menggugat ke Presiden, Kapolri, Kapolda agar jangan sampai terjadi kasus-kasus yang serupa lagi," jelas Mona dalam konferensi pers daring, Rabu (14/10/2020).
Mona menambahkan kasus kekerasan yang dilakukan polisi terhadap jurnalis semakin serius. Itu terlihat dari penangkapan dan penahanan yang dilakukan kepada enam jurnalis di Jakarta.
Kata dia, LBH Pers bersama kuasa hukum lainnya juga mengalami kesulitan untuk mendampingi jurnalis yang ditahan meskipun sudah mengantongi surat kuasa.
Sementara Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur mengatakan kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan polisi membahayakan demokrasi dan merupakan tindak pidana yang harus diadili di pengadilan.
Karena itu, kata dia, selain Presiden, DPR juga perlu melakukan evaluasi terhadap kinerja kepolisian termasuk soal anggaran pembelian peralatan yang digunakan untuk melakukan kekerasan.
"Kami mendesak bahwa Indonesia di dalam demokrasi yang berbahaya. Kalau aparat hukumnya menjadi garda yang mempertontonkan kekerasan dan bebas melakukan tindakan sewenang-wenang," jelas Isnur.
Isnur menambahkan evaluasi tersebut dapat dilihat dengan melihat ada tidaknya pelanggaran prosedur yang dilakukan polisi dalam menjaga aksi. Ia menyarankan polisi memperbaiki standar prosedur jika memang ditemukan kesalahan.
Namun, di sisi lain, polisi yang melakukan tindak pidana seperti kekerasan terhadap jurnalis untuk diproses pidana ke pengadilan.
Sekjen Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Indria Purnama Hadi, mengatakan hasil pendataan yang dilakukan Komite Keselamatan Jurnalis ada 38 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang aksi tolak UU Cipta Kerja pada 7-12 Oktober 2020.
Kekerasan terbanyak terjadi di Jakarta dengan delapan kasus, disusul Surabaya dengan enam kasus, dan Samarinda lima kasus. Sedangkan jenis kekerasan paling banyak berupa intimidasi, perampasan dan perusakan alat atau hasil liputan, serta tujuh jurnalis ditangkap dan ditahan.
"IJTI mengutuk dan mengecam kekerasan oleh polisi dan meminta Kapolri menindaklanjuti dengan menindak anggotanya secara tegas sesuai ketentuan yang berlaku," jelas Indria Purnama Hadi.
Indria memperkirakan jumlah kekerasan yang dialami jurnalis saat meliput aksi tolak UU Cipta Kerja lebih dari jumlah yang dicatat Komite Keselamatan Jurnalis. Padahal kata dia, jurnalis dalam bekerja dilindungi Undang-undang Pers dan sudah ada MoU antara Dewan Pers dengan Kapolri.
Tanggapan Pemerintah
Juru bicara Presiden Fadjroel Rachman enggan menanggapi rencana gugatan yang akan dilayangkan komunitas pers dan kekerasan yang dialami jurnalis saat meliput aksi tolak UU Cipta Kerja. Ia hanya meminta VOA untuk menanyakan langsung perihal kasus kekerasan terhadap jurnalis kepada Humas Polri.
Sejumlah pejabat Humas Mabes Polri juga tidak menanggapi pertanyaan yang disampaikan VOA. Namun, dalam konferensi pers pada 9 Oktober lalu, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono mengatakan polisi akan menyelidiki kekerasan tersebut.
"Nanti akan kita cross-check dulu, kita selidiki seperti apa di sana. Tapi setiap kita mau bekerja, kita mau melakukan kegiatan pengamanan, selalu mengingatkan agar berjalan aman dan tidak salah paham," jelas Argo dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (9/10/2020).
Argo menjelaskan kekerasan tersebut biasanya terjadi karena situasi di lapangan sedang kacau. Ia juga mengimbau kepada jurnalis untuk menunjukkan kartu identitas kepada polisi dan berada di lokasi yang aman saat meliput aksi.