Sudah Matikah Hati Kita?
Oleh: Prof Dr Alaiddin Koto, MA
RIAUMANDIRI.ID - “Berjalanlah kalian di muka bumi dan perhatikanlah apa akibat yang dirasakan oleh umat terdahulu yang durhaka kepada Allah. Mereka dihancurkan Allah. Padahal mereka punya kekuatan yang lebih kuat (dari umat sekarang), punya peradaban tinggi, dan pernah menjelajah di muka bumi. Tidak satu pun yang dapat melindungi mereka dari hukuman Allah. Sungguh, peristiwa itu harusnya menjadi pelajaran bagi orang yang punya hati, yang mau mendengar, dan mau memahami realita.”
Peringatan Allah yang disarikan dari surat Ghafir ayat 21, dan surat Qaf ayat 36-37 di atas, mengandung makna yang perlu diambil bahwa: pertama, umat terdahulu yang kekuatan dan kemampuan teknologinya jauh lebih hebat dari kita sekarang, seperti kaum ‘Ad, misalnya, dibinasakan oleh Allah karena dosa-dosanya, apalagi kita yang secara fisik dan kemampuan teknologi lebih kecil dan lebih rendah dari mereka: kedua, Allah mengatakan hanya orang yang punya hati, yang mau mendengar dan mau memahami realita yang bisa mengambil pelajaran dari kisah sejarah atau peristiwa-peristiwa yang terjadi. Sebaliknya: ketiga, orang yang tidak mau mengambil pelajaran dari peristiwa itu sama artinya dengan orang yang tidak punya hati. Tentu, hati yang dimaksud bukan bendanya yang ada di rongga dada, tetapi fungsinya sebagai alat yang dicipta Allah untuk menangkap makna tersembunyi dari berbagai peristiwa yang terjadi di muka bumi.
Dua ayat di atas kini seakan ditujukan kepada bangsa Indonesia. Berbagai peristiwa dan musibah besar yang silih berganti menimpa negeri ini sejak awal era reformasi 22 tahun lalu, sudah seharusnya dipandang sebagai peringatan bahwa kita sudah jauh tenggelam dalam kesesatan dan kedurhakaan kepada Allah.
Gempa bumi yang sudah hampir merata di setiap negeri, tsunami di beberapa daerah yang cukup mengerikan akibatnya, gunung meletus, tanah longsor dan tenggelam ke dalam bumi, asap dan kebakaran hutan, dan banyak lagi musibah yang menelan ratusan ribu jiwa, ditambah lagi virus corona yang kini tidak hanya melanda Indonesia, tetapi juga dunia, seharusnya sudah cukup untuk membuat sadar akan dosa dan kesalahan-kesalahan, baik langsung kepada Allah, maupun terhadap alam ciptaan-Nya yang dieksploitasi, dikuras dan dirusak sejadi-jadinya untuk kepentingan pribadi atau kelompok yang tidak kenyang-kenyangnya.
Seakan semua itu hanya dianggap angin lalu sebagai gejala alam yang terjadi tanpa perintah atau izin Allah yang tidak perlu dihiraukan. Inikah mungkin yang dimaksud oleh Imam al-Ghazali dengan hati yang sudah sakit, yaitu hati yang sudah kehilangan fungsi untuk menyerap ilmu, menangkap hikmah atau pelajaran di balik peristiwa yang dihadapi, menyerap makrifah, mencintai Allah dan merasakan lezatnya kecintaan kepada-Nya. Atau, mungkinkah hati kita sudah tidak lagi sekadar sakit, tetapi memang sudah mati, sehingga sekeras apa pun hukuman yang diberikan, sehebat apa pun pelajaran dan peringatan yang disampaikan, tidak pernah bisa masuk sama sekali ke dalamnya.
Hati yang telah tertutup untuk kebenaran, tetapi tetap terbuka untuk kedurhakaan. Allah menyebut hati seperti ini sebagai hati yang telah buta.(QS.22:45-46), hati yang tidak ada lagi akal sehat di dalamnya (baca, QS.39:9,21); yang tidak mau lagi menangkap pelajaran sama sekali. Inilah hati yang benar-benar mati karena racun kedurhakaan yang sangat parah kepada Allah.
Sebanyak apa pun musibah yang terjadi di sekeliling, masih saja ingin memperturutkan syahwat untuk mengumpulkan kekuasaan dan kekayaan, walau dengan berbuat curang di sebarang tempat, walau berbohong di sebarang kesempatan, walau harus mengadudomba antarsesama, walau harus memfitnah kepada siapa pun yang tidak disuka.
Apakah masih belum cukup musibah yang datang, sehingga harus ditambah lagi dengan yang lebih dahsyat dari itu? Atau haruskah semua hukuman yang pernah diberikan kepada kaum atau umat–umat terdahulu dikumpulkan menjadi satu untuk kita sekarang, karena kedurhakaan yang kita lakukan hari ini adalah rekapitulasi dari seluruh kedurhakaan yang pernah dibuat oleh umat Nabi-nabi sebelumnya itu, seperti kaum nabi Nuh, Kaum Nabi Luth, kaum Tsamut, kaum ‘Ad, Kaum Nabi Musa, dan lain-lain yang melakukan kecurangan dan kebohongan dalam bisnis dan politik, korupsi di berbagai jabatan dan kesempatan, ketamakan dalam kekuasaan dan kekayaan, kesewenangan-sewenangan dan zalim kepada orang yang tidak punya kekuatan, seks bebas berbuat zina, homoseks, lesbi, khianat dalam kepercayaan dan lain sebagainya.
Adalah hal yang sangat mengerikan bagi orang yang masih punya hati bila semua hukuman yang pernah diberikan kepada umat-umat terdahulu itu diberikan sekaligus kepada umat yang ada sekarang, tapi akan menjadi hanya seperti angin lalu bagi orang yang hatinya telah mati. Tidak akan percaya sebelum semuanya benar-benatr terjadi menimpa dirinya.
Atau, mungkinkah di hati mereka sudah tidak ada Tuhan lagi, sehingga tidak satu pun yang harus didengar dan ditakuti. Seakan hidup untuk selama-lamanya, sehingga harus mengumpulkan kekuasaan dan kekayaan sebanyak mungkin. Mungkinkah atas ini pulalah, misalnya, muncul keinginan untuk tetap melaksanakan Pilkada serentak di tahun ini, saat pandemi Covid sedang ganas-ganasnya. Entah berapa banyak dana yang akan dihabiskan untuk itu, sementara rakyat sedang menjerit menghadapi susahnya ekonomi menghidupi keluarga hari demi hari saat kondisi sulit seperti ini.
Baru kali inilah penulis merasakan hidup seperti ini. Inikah yang disinggung oleh Allah dalam al-Qur'an saat manusia sudah keluar dari kemanusiaannya, lalu berubah menjadi lebih buruk dari hewan (Baca, QS.7:179). Apakah tidak sebaiknya pilkada serentak itu ditunda dahulu, dan dana untuk itu dialihkan buat membantu rakyat yang sedang kepayahan? Bukankah Negara didirikan untuk melindungi rakyat dan segenap tumpah darah Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Atau, mungkin jugakah kita sudah kehilangan akal sehat sebagaimana dipahami dalam surat al-Zumar ayat 9 dan 21 ?.
Akhirnya, izinkan penulis menukilkan jeritan hati seperti di bawah ini:
Wahai Tuan junjungan kami
Di pundak Tuan dititip negeri
Siang dan malam harapan dinanti
Janganlah Tuan lupakan kami
Tuan disebut sebagai pejabat
Pangkat di tangan diberi rakyat
Janganlah Tuan tidak mengingat
Apalagi sampai buat khianat
Negeri kita sedang nestapa
Banyak masalah membuat duka
Bukan hanya karena corona
Tapi juga mikirkan pilkada
Pilkada serentak di Indonesia
Entah berapa banyak biaya
Untuk dipakai buat pesta
Kami rakyat menanggung duka
Wahai Tuan tumpuan rakyat
Dari hati kecil kami mencatat
Lihatlah rakyat setiap saat
Sedang ditimpa hidup yang berat
Kepada Allah kami bermunajat
Kiranya Tuan sayangi rakyat
Tidak maksakan hasrat menjabat
Menjadi penguasa alam sejagat
Ingatlah Tuan akan akhirat
Hidup di bumi sangatlah singkat
Sekuat apapun jabatan dan pangkat
Sebanyak apapun harta didapat
Akhirnya Tuan kan masuk lahat
Maafkan saya Tuan pejabat
Bila tersalah dalam warkat
Karena agama adalah nasehat
Tidak ada maksud untuk menghujat
Bumi Melayu Riau, 25 September 2020
*Penulis adalah Ketua ICMI Riau dan Ketua Perti Riau