Mini Trauma Center, Mungkinkah?
Trauma adalah pembunuh nomor satu untuk usia di bawah 40 tahun dan menempati urutan teratas angka kesakitan, kematian, kecacatan yang menyebabkan kerugian ekonomi terhadap suatu negara.
Kalau kita lihat data profil 10 penyakit terbanyak di Dinkes Provinsi Riau pun pada tahun 2012 ternyata trauma atau kecelakaan lalu lintas termasuk di dalamnya. Begitu juga ketika kami “blusukan” ke seluruh puskesmas di wilayah Kabupaten Siak pada awal tahun ini dalam rangka mini lokakarya tingkat puskesmas didapati juga, bahwa, lebih dari separuh puskesmas menempatkan kasus trauma atau KLL menjadi 10 penyakit terbanyak di wilayahnya.
Pertanyaannya muncul, mengapa insiden trauma atau KLL itu masuk dalam 10 besar penyakit terbanyak yang ditangani puskesmas? Atau mengapa begitu banyak kasus trauma di daerah ini? Insiden trauma saat ini meningkat karena adanya industrialisasi, urbanisasi, peningkatan transportasi dan jumlah kendaraan bermotor, dan perbuatan manusia yang menyebabkan timbulnya bencana alam.
Kalau begitu, apa yang dapat dilakukan untuk menurunkan angka kematian atau kecacatan akibat trauma/KLL yang meningkat tersebut. Salah satunya adalah mendekatkan pelayanan emergensi berbasis waktu dengan mengadakan IGD 24 jam di tingkat puskesmas atau membuat mini trauma center.
Mini Trauma Center
Trauma center saat ini didefinisikan sebagai sebuah fasilitas RS yang khusus menyediakan kebutuhan akan adanya dokter bedah spesialis, dokter spesialis, ahli anestesi, dokter umum, perawat dan peralatan "life support" secara cepat, selama 24 jam untuk menangani pasien yang terluka berat atau pasien terluka yang berisiko lukanya bertambah gawat.
Trauma center merupakan satu kesatuan dari beberapa unit kegiatan yang paling mendukung dalam terlaksananya pelayanan penanganan terhadap trauma. Trauma center meliputi unit Instalasi Gawat Darurat (IGD), ambulans, laboratorium, radiologi, kamar operasi, Intensive Care Unit (ICU), rehabilitasi medik, dan apotk.
Sebuah trauma center pada sebuah rumah sakit misalnya dilengkapi dengan pelayanan medis gawat darurat secara komprehensif untuk pasien yang mengalami trauma berat atau luka berat yang dipersiapkan dalam periode 24 jam sehari. Pusat trauma telah dibentuk sebagai realisasi penetapan medis bahwa luka atau trauma perlu penanganan yang segera dan kompleks termasuk pembedahan untuk mencegah kecacatan dan kematian dari pasien (Dayananda, 2004).
Pelayanan trauma center dibentuk setidaknya ada beberapa pertimbangan, antara lain: faktor geografis di tempat trauma center yang akan dibuat, jarak trauma center yang akan dikembangkan ke pelayanan trauma center yang sudah ada, faktor transportasinya, lokasi populasi dan kepadatan penduduk di sekitar trauma center yang akan dikembangkan (Richardson & Colvin, 2007).
Setakat ini , menurut MacKanzie pelayanan trauma center yang memberikan pelayanan khusus trauma terdiri dari 5 level yaitu: Pertama, level satu, memberikan pelayanan terhadap kasus-kasus trauma secara menyeluruh, yang merupakan sumber daya daerah setempat, termasuk sebagai sarana pendidikan, penelitian dan perencanaan sistem. Pada level ini menyediakan pelayanan kesehatan kasus trauma yang dilengkapi tenaga ahli seperti dokter ahli bedah trauma, dokter ahli bedah umum, dokter ahli anestesi, dokter ahli lainnya, perawat dan dilengkapi perlengkapan resusitasi. Untuk hal tersebut sangat cocok dikembangkan di rumah sakit provinsi yang sudah tipe Batau A.
Kedua, level dua, memberikan pelayanan trauma secara menyeluruh serta sebagai pendukung trauma center level II pada daerah perkotaan yang besar atau sebagai rumah sakit utama pada daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi, namun di level ini tidak memerlukan atau mengadakan sarana pendidikan, penelitian yang berkelanjutan.
Ketiga, level tiga, memberikan pelayanan terhadap kasus trauma, namun tidak memiliki atau menyediakan pelayanan ahli/spesialis secara penuh, tetapi memiliki sumber daya untuk resusitasi gawat darurat, bedah, pelayanan intensif dari hampir semua pasien trauma. Trauma center level III memberikan pelayanan pada masyarakat yang akses ke trauma center level I atau II cukup jauh.
Keempat dan lima; level 4 dan 5, memberikan pelayanan terhadap kasus trauma pada daerah yang tidak memiliki pelayanan trauma yang lebih tinggi. Peranan dari trauma center level IV lebih terfokus pada resusitasi dan stabilisasi pasien serta mengatur proses rujukan pasien ke trauma center yang memiliki perlengkapan yang lebih memadai serta berada di lokasi yang mudah dijangkau dalam waktu singkat.
Menurut penulis, pada level 4 dan 5 inilah dinamakan dengan Mini Trauma Center (MTC), yang dapat dibangun atau diadakan di tingkat puskesmas. Tapi pertanyaannya apakah tidak cukup mengandalkan IGD 24 jam puskesmas selama ini? Sebenarnya secara anatomi hanya perlu menambahkan beberapa fasilitas pendukung yang penting, misalnya ada unit labor, rongent dan apotek untuk layanan 24 jam dan didukung oleh sumber daya manusia yang cukup dan andal, maka jadilah ia MTC.
Seyogianya penempatan MTC ini mesti memperhitungkan juga faktor lokasi, yang artinya pilihlah puskesmas yang berlokasi di jalur lalu lintas yang padat, jumlah penduduk yang banyak serta daerah industri atau yang memiliki daerah rawan bencana. Atau dapat juga dibuat di daerah penyangga antara daerah yang padat dan daerah terpencil.
Semoga dengan adanya MTC di puskesmas dapat menurunkan angka kematian dan kecacatan akibat trauma/kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan kerja. Semoga.***
Alumni Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Unand Padang