Rebutan Likuiditas Selalu Membayangi
JAKARTA (HR)- Standard & Poor’s Ratings Services menilai perang likuiditas di industri perbankan di Indonesia tak akan berakhir jika entitas di sektor ini tak segera melakukan konsolidasi.
Director Financial Service Ratings Standard & Poor’s Ratings Services Ivan Tan mengatakan pengurangan jumlah bank tersebut mesti dilakukan secara bertahap dalam kurun waktu 10 tahun. Dari 119 bank yang ada di Indonesia, menurut Ivan, jumlah itu mesti terpangkas sebanyak 50 persen sehingga yang tersisa maksimal 60 entitas.
“Jika tak dilakukan maka Indonesia akan memiliki sistem perbankan yang terlalu padat, perang harga likuiditas akan terus berlangsung dan akibatnya kondisi ketatnya likuiditas juga tak akan berubah,” ujar Ivan di Jakarta, Rabu (8/4).
Dalam pantauan Standard & Poor’s, likuiditas di Indonesia memang telah mengalami pengetatan sejak 2006. Menurut Ivan, penyebab utamanya yakni pertumbuhan kredit yang dipacu jauh di atas penghimpunan dana pihak ketiga. Dalam beberapa tahun terakhir, Standard & Poor’s melihat kredit tumbuh hingga 20 persen-30 persen, sedangkan DPK hanya naik 15 persen-20 persen.
Untuk melonggarkan kembali likuiditas, tambah Ivan, relaksasi untuk perhitungan loan to deposit ratio (LDR) menjadi loan to funding ratio (LFR) pun tak akan begitu berpengaruh.
Pasalnya, alternatif pendanaan di Indonesia masih minim. Bahkan, menurut dia, era baru perbankan yang berharap pada program branchless banking untuk menghimpun DPK pun tak seefektif opsi konsolidasi dalam melonggarkan likuditas.
“Karena program tersebut juga tak akan menahan tekanan kanibalisasi yang terjadi di industri perbankan. Lihat saja perang harga pada tahun lalu,” papar Ivan.(bis/ara)