Dilema Pendidikan Era New Normal
Oleh: Muhammad Herwan*
RIAUMANDIRI.ID - Proses belajar mengajar di masa era new normal pandemi Covid 19 bagaikan makan buah simalakama, dilematis dan ironis. Belajar sistem daring (online) atau Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang diterapkan pada masa PSBB saja masih banyak kendala dan tidaklah menyelesaikan persoalan pembelajaran, bahkan memunculkan setumpuk persoalan baru dan sangat mendasar.
Ketika pada era new normal mulai direncanakan untuk kembali melakukan proses belajar belajar secara tatap muka (konvensional), tentunya memunculkan kekhawatiran dan was-was baik bagi orang tua maupun pendidik itu sendiri. Kembali melakukan proses pembelajaran tatap muka walaupun dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat, belum dapat memberikan jaminan keamanan untuk tidak terjangkitnya wabah pandemi Covid 19, jangan-jangan nantinya sekolah-sekolah akan menjadi kluster baru penyebaran pandemi covid 19. Dua pilihan antara pembelajaran daring dan pembelajaran tatap muka menjadi dilematis.
Oleh karena itu, kebijakan untuk memberlakukan pembelajaran tatap muka patut dan harus dipertimbangkan dengan sangat hati-hati dan komprehensif. Penanggungjawab pendidikan di daerah mestilah melibatkan stakeholder terkait (orang tua siswa, satgas Covid 19, satuan pendidikan, guru, profesi medis, dan lainnya) dalam menetapkan opsi yang ada. Jika setelah melalui pertimbangan yang hati-hati dan komprehensif pilihannya pada menerapkan pembelajaran tatap muka, maka kesiapan satuan pendidikan (sekolah) dalam memenuhi sarana prasarana protokol kesehatan covid 19 haruslah benar-benar dipenuhi dan dijalankan secara disiplin dan ketat.
Setumpuk persoalan baru tersebut antara lain, ketidaksiapan orang tua (latar belakang pendidikan maupun penguasaan teknologi) mendampingi anak ketika belajar di rumah hingga terjadi banyak kasus KDRT kepada anak, banyaknya tugas yang diberikan guru sehingga anak didik yg merasa terbebani dan mempengaruhi psikologi anak, adanya tambahan biaya rumah tangga untuk menyiapkan paket internet padahal persoalan untuk memenuhi ekonomi rumah tangga saja sangat sulit, masih banyaknya anak didik yg tidak memiliki perangkat pendukung belajar daring (komputer/laptop atau handphone maupun dana untuk paket internet), jangkauan jaringan internet dan jaringan listrik masih banyak kendala terutama di daerah-daerah yang jauh dari sarana prasarana publik tersebut, bahkan kesulitan guru dalam beradaptasi maupun mengembangkan metodologi pembelajaran agar substansi mata pelajaran yg diberikan dapat dipahami oleh anak didik dan banyak masih persoalan lainnya. Belum lagi permasalahan yg lebih kompleks yang dihadapi pada pendidikan anak berkebutuhan khusus, di Sekolah Luar Biasa (SLB) misalnya, ironis dan memilukan.
Permasalahan pendidikan di masa normal (sebelum pandemi Covid 19), sejak Indonesia Merdeka sampai saat ini saja masih sangat banyak dan kompleks. Mulai dari minimnya sarana prasarana pendidikan, kurikulum pendidikan nasional, kualitas output pendidikan, maupun persoalan kompetensi dan profesionalisme guru, dan masih banyak permasalahan lainnya. Padahal pada masa pembelajaran konvensional saja, output dan kualitas pendidikan Indonesia masih jauh dari pencapaian tujuan pendidikan itu sendiri.
Apatah lagi dengan penerapan pembelajaran di era new normal, yang tidak saja membatasi bahkan nyaris menghilangkan interaksi langsung antara pendidik dan anak didik. Ruh pendidikan justru antara lain didapat dan diberikan melalui interaksi langsung antara pendidik dan anak didik.
Pendidik bagi anak didik adalah suri tauladan, akan didengar ucapan dan ajarannya, akan diikuti sikap dan tindak tanduknya. Sebaliknya pendidik akan dapat melihat secara utuh bagaimana kondisi anak didiknya. Hal ini sangat diperlukan terutama dan khususnya pada pendidikan tingkat dasar dan menengah, tersebab pada jenjang pendidikan inilah proses penyiapan pola pikir dan sikap dilakukan.
Bukankah hakikat dari Pendidikan sebagai proses kehidupan berkelanjutan adalah merupakan upaya untuk memanusiakan manusia agar memiliki peradaban (nilai dan pengetahuan religius, nilai dan pengetahuan budaya).
Bahwa hakikat proses pembelajaran bukanlah untuk menjadikan siswa/siswi menjadi pintar dan memiliki pengetahuan sahaja (bukan hanya Kognitif dan Psikomotorik), namun proses belajar mengajar sejatinya menyeimbangkan 3 aspek pedidikan (Kognitif, Psikomotorik dan Afektif), bahkan yang terutama dan sangat penting adalah mendidik dan mengajarkan Sikap dan Moral (Afektif/Attitude), agar anak didik menjadi manusia yang memiliki akhlakul karimah. Apatah lagi faktor sikap dan moral ini menjadi akar persoalan utama dekadensi poleksosbud yang tengah kita alami saat ini.
Bahwa pendidikan menjadi tanggung jawab kita bersama, bukan hanya digantungkan pada sekolah, dinas pendidikan ataupun guru, namun yang juga penting adalah peran dan tanggung jawab orang tua serta lingkungan luar sekolah. Mudah-mudahan pemerintah dan penanggung jawab masalah pendidikan negara ini dapat arif dan bijak menyikapi persoalan ini secara menyeluruh dan berkelanjutan, janganlah hendaknya kebijakan dan tindakan yang dilakukan hanya sebatas uji coba dan secara parsial, antara lain mulailah dengan membuat penyederhanaan kurikulum pendidikan yang disesuaikan dengan era new normal sekaligus menjadi alternatif solusi peningkatan kualitas pendidikan nasional.
Harus tetap di ingat bahwa kebijakan pendidikan adalah berkaitan erat dengan upaya menciptakan generasi penerus bangsa, mereka lah yang nantinya akan menggantikan generasi saat ini untuk mengisi dan membangun masa depan negara. Jangan sampai dampak pandemi covid 19 yang menyebabkan krisis ekonomi, juga juga mengancam keberlanjutan generasi (lost generation). Kebijakan yang tepat dan cepat harus dilakukan, tetapi jangan lagi (sampai) menambah-nambah persoalan baru. Selamatkan pendidikan nasional, selamatkan generasi penerus bangsa. Semoga.**
*Penulis adalah Wakil Sekretaris Dewan Pendidikan Provinsi Riau