Sungguh Tega, Seorang Anak Gugat Ibu Kandung Gara-gara Tanah Warisan

Sungguh Tega, Seorang Anak Gugat Ibu Kandung Gara-gara Tanah Warisan

RIAUMANDIRI.ID, PROBOLINGGO - Gara-gara perkara tanah warisan, seorang anak menggugat ibu kandungnya sendiri di Probolinggo. 

Ibu itu bernama Surati (66), warga Dusun Tancak, Desa Ranu Agung, Kecamatan Tiris, Kabupaten Probolinggo. Surati digugat anak kandungnya sendiri, Naise (44), ke Pengadilan Negeri Kraksaan.

Tidak hanya ibunya, Naise juga menggugat adiknya sendiri, Manis (30), dan juga dua sepupunya, Sinal dan Satima. Para tergugat ini menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Kraksaan, Rabu (5/8/). Sidang perdana yang berlangsung singkat ini tidak dihadiri oleh Naise dan hanya diwakili oleh penasihat hukumnya.


Gugatan ini dipicu masalah sengketa tanah 3.874 meter persegi. Tanah ini diakui Naise sebagai miliknya. Di atas tanah tersebut para tergugat telah mendirikan bangunan. Naise merasa para tergugat tidak minta izin dirinya.

"Perkara sengketa tanah ini berawal saat para tergugat membangun rumah semi permanen di lahan tanah milik penggugat Naise," ujar Samsul saat dikonfirmasi wartawan, Kamis (6/8/2020).

Naise sendiri merupakan anak bungsu Surati bersama suami pertamanya Subyo. Anak pertama atau kakak Surati adalah Suyoto. Subyo meninggal saat Naise baru berumur 4 bulan. Surati kemudian menikah dengan suami keduanya, Asim. Bersama Asim, Surati memiliki tiga orang anak yakni Essu, Tumah, dan Manis.

Menurut Samsul Huda, penasihat hukum tergugat, tanah yang diaku Naise sebagai miliknya tersebut awalnya adalah tanah milik Sitrap. Sitrap adalah ibu dari Surati alias nenek Naise. Saat Sitrap meninggal tahun 2015, tanah itu dihibahkan ke Surati. Surati kemudian mensertifikatkan tanah itu atas nama Naise.

Taufiq, kerabat penggugat mengatakan jalur pidana terpaksa ditempuh oleh penggugat setelah penyelesaian secara kekeluargaan di kantor desa tidak membuahkan hasil. Kedua belah pihak sama-sama mengklaim sebagai pemilik tanah yang sah. Akhirnya jalur hukum ditempuh.

"Jalur hukum pidana dilakukan kedua belah pihak setelah penyelesaian di kantor desa tidak membuahkan hasil. Penggugat dan tergugat sama-sama mengklaim sebagai pemilik tanah yang disengketakan ini, akhirnya jalur meja hijau ditempuh," kata Taufiq.

Pihak Pengadilan Negeri Kraksaan sendiri masih mengupayakan jalur mediasi terhadap penggugat dan tergugat. Agar kedua belah pihak yang masih sedarah ini bisa menyelesaikan sengketa tanah secara kekeluargaan, tanpa melalui jalur hukum.