Mantan Napi Teroris: Orang Jadi Jahat karena Salah Pilih Ustaz
RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA - Dua eks tokoh yang pernah 'terjerumus' pada aksi-aksi kekerasan bermotif agama tampil dalam sebuah forum bertema kebangsaan. Keduanya berpesan agar berhati-hati memilih guru keagamaan atau mengikuti kelompok kajian agama.
Eks narapidana kasus terorisme (napiter) Sofyan Tsauri mengatakan berbagai cara dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal untuk merekrut anggota dengan tujuan melakukan kekerasan. Sofyan semula adalah anggota polisi yang kemudian bergabung dengan kelompok teroris melakukan pelatihan kemiliteran (i'dad) di Aceh tahun 2010.
"Dari hampir 3.000 orang yang ditangkap di Indonesia terkait kasus terorisme sejak awal tahun 2000 hingga sekarang, rata-rata dari golongan orang-orang yang kajian keagamaan namun kurang referensi," kata Sofyan dalam diskusi publik 'Peran Generasi Muda dalam Membangun Nilai Kebangsaan di Era Millenial' di Sukoharjo, Jateng, Jumat (24/7/2020).
Kebangkitan semangat beragama, kata Sofyan, sering tidak diimbangi dengan keseriusan dalam menjadi referensi yang kuat. Banyak orang yang belajar agama hanya pada buku, tanpa pembimbing sehingga sangat membahayakan.
Sering juga dijumpai orang belajar agama kepada para guru yang pemahaman agamanya kurang memadai. Guru atau ustaz tersebut hanya melakukan 'copy paste' pemahaman keagamaan dari Timur Tengah untuk diterapkan di Indonesia yang sebenarnya memiliki latar belakang kondisi dan situasi yang sangat berbeda.
"Sehingga sering kali yang kita jumpai bahwa orang jahat adalah orang lugu yang salah guru. Sering kali orang menjadi jahat karena salah memilih ustaz. Apalagi memang kelompok-kelompok seperti itu sangat lihai memengaruhi calon korban untuk direkrut," ujar Sofyan sembari menceritakan bahwa dia sudah berdinas di kepolisian 13 tahun ketika memilih bergabung di kelompok radikal.
Hal serupa juga disampaikan oleh Amir Mahmud, alumni akademi militer perang Afghanistan. Amir Mahmud mengatakan bahwa keterpaparan generasi muda terhadap paham-paham membahayakan sangat tinggi.
Hal tersebut terjadi karena banyaknya sumber informasi yang bisa diakses tanpa filter.
"Banyak media yang bisa menjadi perantara transfer paham kekerasan, termasuk cara-cara melakukan kekerasan itu sendiri. Sama sekali tak ada saringan. Banyak orang yang menelan mentah-mentah semua pemahaman itu tanpa difilter atau ditanyakan lagi kepada orang yang lebih ahli. Ini sangat berbahaya," ujar Direktur Amir Mahmud Center tersebut.