Kadisdik Inhu Sebut Punya Data Dugaan Pemerasan Sejak 2016, Kajati Riau: Luar Biasa Dia
RIAUMANDIRI.ID, PEKANBARU – Hubungan antara Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Indragiri Hulu (Inhu) dengan Kejaksaan Negeri (Kejari) setempat memanas. Hal itu bermula dari kabar adanya dugaan pemerasan oleh oknum Jaksa terhadap sejumlah kepala sekolah di kabupaten tersebut.
Terkait hal itu, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Riau, Mia Amiati menyatakan, hal itu hanya pengalihan isu karena pihak Kejari tengah mengusut dugaan korupsi yang ada di tubuh Pemkab Inhu. Bahkan, Kajati menyebut ada oknum di Pemkab yang mencoba 'merayu' tim penyidik untuk menghentikan penyidikan perkara tersebut.
Dikatakan Mia, pihaknya telah melakukan klarifikasi terhadap sejumlah pihak terkait adanya dugaan pemerasan terhadap sejumlah kepala sekolah di Inhu. Adapun pihak dimaksud, antara lain dari Kejari Inhu, dan sejumlah aparatur sipil negara (ASN) di Pemkab Inhu.
Saat disinggung terkait dugaan pemerasan terhadap kepala sekolah itu telah terjadi dari tahun 2016 silam, Kajati memberikan penjelasannya. Dikatakan Kajati, dirinya telah mendengar keterangan dari Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Kadisdikbud) Inhu, Ibrahim Alimin di salah satu stasiun televisi terkait hal tersebut.
"Luar biasa dia (Kadisdikbud,red) punya data seperti itu (dugaan pemerasan terjadi sejak tahun 2016,red). Kami menunggu datanya. Ada gak, sehingga dia bisa berkata seperti itu. Jangan katanya, katanya. Kesaksian itu adalah faktual, melihat, dan menyaksikan sendiri. Kami sedang menggali ini," tegas dia.
"2016 itu kan orangnya sudah berubah . Mengapa tidak dari dulu dibuka, kenapa baru sekarang?," katanya lagi.
Ditambahkan Asisten Intelijen Kejati Riau, Raharjo Budi Kisnanto, proses klarifikasi oleh Bidang Pengawasan Kejati Riau, telah berlangsung sejak Kamis (16/7) kemarin. Di mana saat itu, proses klarifikasi dilakukan terhadap pihak Kejari Inhu.
"Sejak Kamis malam, kami sudah meminta keterangan dari tim Kejari Inhu sebanyak 5 orang. Dilanjutkan hari Jumat. Senin ini, kita minta kan beberapa kepala sekolah, kemudian Bendahara Bos termasuk dari Disdik (Disdikbud) dan Inspektorat," sebut Raharjo Budi Kisnanto.
Dari keterangan Kejari Inhu menyatakan tidak pernah melakukan pemerasan seperti yang dituduhkan. "Namun dengan adanya tuduhan tadi, maka akan kami dalami dulu," singkat mantan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Kabupaten Semarang itu.
Sementara itu, Inspektur pada Inspektorat Inhu, Boyke Sitinjak mengakui jika dirinya diminta keterangan oleh Bidang Pengawasan Kejati Riau pada Senin ini. Bersama dia, ada 6 orang kepala sekolah yang mengalami hal yang sama.
"Panggilan ada enam orang kepala sekolah yang datang bersama saya. Tapi di luar sepertinya banyak," ujar Boyke Sitinjak, saat ditemui di Kantor Kejati Riau.
Boyke mengatakan ada dugaan pemerasan yang dilaporkan para guru ke Inspektorat. Mereka mengaku diperas oleh oknum jaksa di Kejari Inhu terkait pengelolaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Pemerasan itu menjadi tekanan mental bagi para kepala sekolah. Ada 63 guru yang mengajukan pengunduran diri. Mereka adalah guru SMP.
"Seluruh guru SMP (mengundurkan diri). Totalnya ada 63 orang," sebut Boyke.
Terkait hal itu, Boyke sudah melaporkan ke Kejaksaan. Dia menyerahkan sepenuhnya penyelidikannya kepada Korps Adhyaksa itu. "Biar kejaksaan yang membuktikannya," tegas Boyke.
Sementara, Ketua Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum (LKBH) Persatuan Guru RI (PGRI) Taufik Tanjung, mengatakan, selain enam guru yang dipanggil secara resmi, juga ada 5 guru lain. "Resminya ada 6 kepala sekolah yang sudah dimintai keterangan. Nanti ada lima lagi,' tutur Taufik.
Taufik menjelaskan, dugaan pemerasan itu sudah terjadi sejak 2016 lalu. Puncaknya terjadi baru-baru ini.
Dia menjelaskan jumlah uang yang diminta bervariasi, ada Rp25 juta, Rp45 juta dan Rp60 juta. Untuk penyerahan uang, ditunjuk satu orang kepala sekolah yang dipercaya oleh oknum Jaksa tersebut.
"Jadi mereka (kepsek,red) itu dipanggil oleh oknum Jaksa itu, tidak diperiksa cuman disuruh datang. Kembali lagi, nanti ada satu yang dipilih untuk menyerahkan uang itu," beber Taufik seraya mengatakan, pemanggilan tidak dilakukan secara resmi tapi hanya melalui telepon.
Selain oknum Jaksa, pemerasan juga dilakukan oleh oknum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Modusnya, mereka menyurati pihak sekolah seolah-olah mereka sudah melakukan Investigasi dan menemukan ada temuan penyimpangan dana BOS.
"Sebenarnya pihak sekolah sudah membalas surat. Mereka juga mengancam kalau 14 hari tidak membalas, mereka akan melaporkan temuan itu ke Kejaksaan," imbuhnya.
Beberapa bulan kemudian, ada surat lagi dari Kejaksaan, melalui Inspektorat kepada guru-guru itu. "Di situ terjadi tekanan, berupa ancam-ancaman kepada para guru terkait dana BOS," sebutz Taufik.
Penyerahan uang terakhir pada tahun 2020. Dari enam orang Kepsek yang diperiksa di Kejati, mereka mengatakan menyerahkan uang Rp35 juta lebih. "Ada Rp210 juta," pungkas Taufik.