Anis Matta: Turki Ingin Tunjukkan kepada Dunia sebagai Pemimpin Berdaulat
RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA - Kebijakan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan yang berani mengembalikan fungsi Hagia Sophia dari museum menjadi masjid menyiratkan pesan sendiri bagi dunia Internasional, meskipun ditentang dunia barat. Di bawah Erdogan, Turki ingin diakui sebagai negara berdaulat dan sekaligus pemimpin kawasan.
Demikian Analisis Pengamat Geopolitik Internasional Muhammad Anis Matta menanggapi kebijakan tegas pemerintah Turki yang mendapat tentangan dari berbagai pihak, termasuk oleh UNESCO.
Anis Matta menilai keberanian Erdogan mengembalikan Hagia Sophia menjadi masjid diapresiasi masyarakat muslim dunia, termasuk muslim di Indonesia.
"Turki pemimpin kawasan. Itu pesan Erdogan di balik keputusan mengembalikan Hagia Sophia menjadi masjid setelah dijadikan museum oleh Attaturk sejak 1935," kata Anis dalam rilisnya, Senin (13/7/2020).
Anis menambahkan di sisi lain kebijakan tegas Erdogan ini memantik pertentangan. Hal ini terutama dari negara yang kontra dengan Turki seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA).
Bagi Anis, pesan khusus Erdogan ini menyangkut pertarungan geopolitik yang hendak dimenangkannya. Ada strategi khusus yang diinginkan Erdogan demi Turki.
"Ini pesan determinasi di tengah pertarungan politicall will secara geopolitik," jelas Anis yang juga Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia ini.
Namun, di sisi lain, upaya ini sebagai pendekatan baru Erdogan dalam geopolitik. Strategi ini diperlukan mengingat sudah hampir 10 tahun terakhir, Erdogan memimpin Turki terlibat konflik dalam berbagai titik seperti di Syiria, Yunani, Libya dan Yaman.
Anis Matta menilai titik balik Erdogan terjadi pasca gagalnya kudeta tahun 2016. Saat itu, kudeta militer yang disponsori negara-negara anti-Arab Spring seperti Arab Saudi dan UEA makin mengokohkan posisi internal Erdogan.
"Itu juga membuat Erdogan lebih berani melakukan intervensi militer di kawasan, seperti Libya dan suatu saat mungkin juga Yaman," jelasnya.
Kemudian, fenomena harga minyak yang jatuh memukul telak Arab Saudi, UEA, Rusia yang merupakan pemain utama dalam konflik geopolitik di kawasan tersebut.
"Pesan determinasi geopolitik Turki ini sepertinya dirancang dengan apik menuju pilpres terakhir Erdogan tahun 2024 mendatang," pungkasnya.
Seperti diketahui, Hagia Sophia mulanya dibangun sebagai gereja Church of Holy Spirit atas perintah Kaisar Byzantium Justinian I pada abad ke-6. Beberapa pilar penyangga dalam bangunan tersebut diambil dari Ephesus dan Kuil Artemis.
Hagia Sophia juga merupakan salah satu dari katedral terbesar di dunia yang memiliki makna khusus bagi komunitas Orthodox.
Hagia Sophia sudah beberapa kali mengalami perubahan fungsi, serta dilakukan renovasi dan perluasan beberapa kali selama berabad-abad ini.
Pada masa penaklukan Ottoman di Istanbul pada 1453, Hagia Sophia berubah fungsi menjadi masjid. Salah satu keunikannya adalah perpaduan mosaik khas era Byzantium dan kaligrafi dari masa Kesultanan Ottoman.
Bangunan dipercantik dengan arsitektur yang menampilkan elemen khas Kesultanan Ottoman. Beberapa elemen seperti mihrab dan mimbar, tempat para Ustadz berceramah, ditambahkan. Bahkan, sebuah perpustakaan juga dibangun di dalamnya.
Pada 1935, Hagia Sophia diubah menjadi sebuah museum. Meski begitu, dekorasi asli dari mosaik bunga dan geometris dari abad ke-7 masih bertahan.
Kemudian pengadilan administrasi utama Turki mencabut status Hagia Sophia sebagai museum pada 10 Juli 2020.
Keputusan tersebut membuka jalan bagi pemerintah Turki untuk membuat situs bersejarah tersebut menjadi masjid. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan secara resmi mengubah Hagia Sophia menjadi masjid.
Pada Kamis (9/7/2020), UNESCO memberi peringatan bahwa perubahan status harus ditinjau oleh komite UNESCO. UNESCO mengungkapkan bahwa setiap perubahan dari sebuah situs yang berada di dalam daftar Situs Warisan Dunia harus diberitahukan terlebih dahulu dan melalui proses peninjauan.