Pahala Haji Mabrur di Masa Covid-19

Pahala Haji Mabrur di Masa Covid-19

Oleh: Dr Erman Gani* 

RIAUMANDIRI.ID - Penyebaran Covid-19 di seluruh dunia berimplikasi terhadap pembatalan keberangkatan Jamaah Calon Haji (JCH) Indonesia musim ini. Pemerintah mengambil keputusan tidak memberangkatkan JCH karena alasan wabah dan demi keselamatan JCH. 

Keputusan tersebut sesuai dengan konsep fikih Islam tentang pelaksanaan Ibadah Haji yang mesti memenuhi kriteria manisthata’a  (QS. Ali Imran [03];97).


Spektrum tentang terminologi  manisthata’a dalam Islam amat luas sekali. Di antaranya, tersedianya perbekalan, akomodasi dan transportasi yang memadai. Termasuk jaminan keselamatan JCH, baik ketika berangkat, saat di Tanah Suci dan saat kembali ke Tanah Air. 

JCH diharapkan menerima dengan lapang dada dan kesabaran yang tinggi atas pembatalan haji 1441 H/2020 M.

Kesabaran menjadi maqam dimensi paling tinggi dalam kematangan spritual seorang muslim. Bahkan dalam Alquran, Allah SWT menggandengkan antara menyebut sabar dan Shalat. “Mintalah pertolongan kalian dengan sabar dan shalat” (QS. al-Baqarah[02]: 45). 

Allah SWT mendahulukan menyebut sabar daripada Shalat. Karena sabar itu lebih luas dari Shalat. Shalat adalah ibadah tertentu. Sedangkan sabar lebih luas cakupannya. Kesempurnaan  Shalat dibina dan dibentuk dari kesabaran pelaksanannya. Bila  Shalat adalah bentuk ketaatan kepada Allah SWT, maka sabar adalah pemulanya. 

Pahala Haji Mabrur 

Meskipun pendemi Covid-19 menggulung harapan orang haji ke Tanah Suci, namun tidak serta-merta menghapus harapan terhadap dimensi pahalanya.

Meraih haji mabrur bisa dirangkul dengan amalan yang berbeda. Ada seseorang yang tidak melaksanakan ibadah haji. Tidak pernah sekalipun menginjakkan kakinya di Tanah Suci. Namun bisa meraih pahala haji mabrur. 

Kisah yang sangat populer di kalangan kaum muslimin tentang Abdullah bin  al-Mubarak. Seorang ulama besar zaman Tabi’ al-Tabi’in yang lahir 118 H. Suatu ketika, Abdullah bin al-Mubarak pergi ke Mekkah melaksanakan ibadah haji. 

Setelah menyelesaikan seluruh prosesi rangkaian rukun dan wajib haji, ia bermimpi melihat dua malaikat turun dari langit.  Malaikat tersebut memperbincangkan hanya satu orang yang hajinya diterima meskipun tidak pernah menginjakkan kakinya di Mekkah. Tidak berangkat haji, namun Allah SWT menghitungnya sebagai ibadah haji dan menganugerahkannya haji yang mabrur. 

Bahkan berkat orang itu pula, seluruh kaum muslimin yang haji tahun itu, sebanyak 600 ribu orang lebih, diterima hajinya oleh Allah SWT, termasuk Abdullah bin al-Mubarak. 

Penasaran dengan mimpinya, Abdullah bin al-Mubarak mencari sosok yang menjadi perbincangan malaikat tersebut. Untung saja dari percakapan Malaikat itu, ia bisa mengidentifikasi orangnya.  

Nama orang dalam mimpinya itu adalah Ali bin Muwaffaq. Pekerjannya sebagai tukang sepatu. Tinggal di Damaskus, ibu kota dan kota terbesar di Syuriah. Ali bin Muwaffaq dan isterinya berniat menyempurnakan Rukun Islam kelima, haji ke Baitullah. Sedikit demi sedikit upah dari memperbaiki sepatu ia kumpulkan untuk berangkat melaksanakan ibadah haji. Ia telah menabung selama tiga puluh lima tahun.

Singkat cerita, ketika bertemu, Abdullah bin al-Mubarak bertanya kepada  Ali bin Muwaffaq: “Amalan apa yang telah engkau kerjakan sehingga menjadi perbincangan Malaikat dan meraih pahala haji mabrur meskipun tidak berangkat haji?” 
Kemudian  Ali bin Muwaffaq bercerita bahwa isterinya sedang hamil. Suatu ketika isterinya mencium masakan yang sangat harum dan  ingin sekali mencicipi makanan tersebut. Ali bin Muwaffaq mencari asal masakan.  

Ternyata sumbernya dari sebuah gubuk yang hampir roboh yang dihuni seorang janda dan empat orang anak-anaknya.
Ali bin Muwaffaq menyampaikan maksud bahwa isterinya ingin mencicipi makanan yang sedang dimasak sang ibu. Akan tetapi sang ibu malah menjawab: “Sudah beberapa hari anakku tidak makan. Hari ini aku menemukan bangkai keledai mati tergeletak. Lalu aku memotong dan mengolahnya  menjadi masakan ini. Makanan ini tidak halal untuk kalian.” 

Mendengar itu, Ali bin Muwaffaq terenyuh, merasa tertampar sekaligus sangat sedih. Batinnya bergetar hebat. Bagaimana mungkin ia akan berangkat haji sedangkan tetangganya tidak bisa makan. Maka diambilnya seluruh uang tabungan hajinya dan diserahkan kepada sang ibu untuk makan anak-anaknya. Karena itu, ia mengurungkan niatnya berangkat haji. 

Mendengar cerita tersebut, ulama besar Abdullah bin  al-Mubarak mengeluarkan air mata dan mengatakan: “Engkau pantas meraih pahala haji yang mabrur.”

Filantropi di Masa Covid-19 

Pandemi Covid-19 telah membawa kita dalam multi krisis sekaligus. Berawal dari krisis kesehatan yang kemudian berimbas kepada krisis ekonomi dan sosial. Dampak dari multi krisis tersebut melahirkan masyarakat miskin, rentan miskin dan terdampak.

Kondisi faktual masyarakat yang serba sulit di masa pandemi Covid-19 saat ini, sedianya bisa memantik sensifitas terdalam hati para dermawan dan orang kaya untuk mengulurkan tangannya memberikan bantuan. Inilah inti dari ajaran Islam. Kasih sayang dan kepedulian diantara sesama muslim. 

Walaupun kesedihan merambah relung kalbu hati JCH tahun ini, karena batal berangkat haji, namun yakinlah bahwa  pahalanya   bisa diraih dengan cara yang lain. Yakni mengeluarkan Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS) kepada fakir miskin dan kaum dhuafa’. Sabda Nabi SAW: “ Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”(HR. al-Thabrani). 

Kisah Ali bin Muwaffaq di atas menginspirasi betapa urgennya filantropi dalam Islam, yaitu bentuk kepedulian yang sangat mendalam antara sesama muslim. Turut hadir merasakan derita dan kesengsaraan orang lain yang kurang beruntung dalam ekonomi dan keuangan.

Kedermawanan seorang muslim dalam menolong saudaranya yang tidak mampu ternyata memiliki pahala yang sangat luar biasa. Allah SWT sejajarkan fadhilahnya dengan haji mabrur yang balasannya syurga. “Tidak ada balasan (yang layak) bagi jemaah haji mabrur selain surga. ”(HR. Bukhari). Wallahu A’lam. ***

*Penulis adalah Sekretaris Majelis Dakwah Islamiyah (MDI) Kota Pekanbaru.