Radikalisasi Media Islam
"Mereka berkehendak memadamkan cahaya agama Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka. Dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayanya, walaupun orang-orang kafir tidak menyukainya." (QS. At Taubah: 32).
Ayat tersebut membe
rikan sedikit gambaran bahwa bagaimanapun upaya yang ditempuh oleh kelompok tertentu untuk meredupkan cahaya kebenaran, tapi Allah dengan segala kekuasaan-Nya akan tetap memperlihatkan kebenaran tersebut di atas segala bentuk kebatilan.
Ini bukan kisah tentang pergolakan antara kebenaran dan kebatilan layaknya yang terjadi di zaman para nabi, tapi ini adalah kondisi terkini yang mengundang keprihatinan hampir seluruh masyarakat Indonesia tatkala menyaksikan kebijakan “konyol” para penguasa yang menilai negatif berbagai media Islam.
Kondisi ini semakin memanas pascapemblokiran sejumlah media Islam oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Mungkin saja beberapa pihak dari kalangan penguasa bernafas lega pascapemberedelan media-media tersebut, tetapi jutaan masyarakat Indonesia justru mengecam keras langkah pemerintah yang tak berdasar tersebut karena dinilai sebagai bentuk hilangnya kebebasan pers bahkan kebijakan tersebut menunjukkan adanya upaya pemerintah menutup transparansi informasi publik.
Bukan hanya itu, pemberedelan sejumlah media Islam secara sepihak oleh pemerintah telah mencederai hati masyarakat Muslim terbesar dunia. Betapa tidak, media-media dakwah yang selalu gencar mengajak manusia kepada kebaikan dan menebar berbagai hikmah kehidupan justru dicekal oleh pemerintah karena dinilai mengajarkan paham radikal. Tentu ini adalah sebuah keputusan yang ngawur karena sebelumnya tidak disertai dengar pendapat dari media yang bersangkutan sehingga dengan seenaknya pemerintah meradikalkan sejumlah media-media tersebut.
Kebijakan radikal
Sejatinya Kementerian Komunikasi dan Informasi harus bisa mengayomi seluruh media atau situs berita, baik media Islam maupun yang bersifat umum. Jika memang ada media yang disinyalir menebar ajaran dan paham radikal, maka di sinilah diperlukan peran Kemenkominfo untuk membuat batasan yang jelas tentang definisi radikal tersebut, bukan dengan serta-merta memblokirnya. Terlebih lagi, langkah pemerintah yang meradikalkan sejumlah media Islam tersebut tidak disertai dengan diskusi dari berbagai pihak.
Banyak pihak menilai bahwa langkah pemerintah saat ini yang memberedel media-media Islam lebih kejam dari pada pemberedelan media pada rezim sebelum-sebelumnya. Betapa tidak, selain memblokir situs-situs sumber referensi jutaan umat, hampir semua media online bernapaskan Islam juga diberangus dengan alasan yang terkesan kaku dan dipaksakan.
Radikalisasi dan pemblokiran media-media Islam tersebut tentu sangat merugikan umat Islam dan dipastikan akan memperburuk prinsip keseimbangan informasi yang beredar saat ini. Khususnya dalam berbagai pemberitaan terkait teroris, ISIS, dan sebagainya. Lihat saja, hanya sedikit media mainstream yang mau memberitakan hal tersebut secara berimbang sehingga terkesan bahwa prinsip cover both sides dalam jurnalistik terabaikan.
Oleh karena itu, tentu sangat wajar jika banyak orang menilai bahwa langkah Kemenkominfo tersebut justru merupakan kebijakan yang bersifat radikal dan perlu direvisi secepatnya karena telah terbukti merugikan dan menzalimi banyak orang.
Salah kaprah
Pengakuan Kemenkominfo yang telah memblokir sejumlah media Islam sejak pekan lalu memang menimbulkan tanda tanya dari berbagai pihak. Terlebih lagi, pemblokiran tersebut hanya berdasarkan laporan dan permintaan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang kemudian diproses oleh Dirjen Aplikasi Informatika (Aptika) lalu menyimpulkan bahwa media-media tersebut menyebarkan paham radikal atau simpatisan radikalisme.
Maka muncul pertanyaannya, atas dasar apakah BNPT dan Kemenkominfo meradikalkan media-media tersebut? Apakah staf BNPT dan Kemenkominfo yang menganalisis media-media tersebut mempunyai wawasan keislaman yang mumpuni sehingga mereka mampu membedah setiap konten dalam situs-situs tersebut lalu menyimpulkannya sebagai ajaran radikal?
Di sinilah letak kesalahan pemerintah dalam menganalisis dan meradikalkan media-media Islam, apalagi situs-situs tersebut memuat ayat-ayat suci yang bersumber dari Allah dan rasul-Nya, maka selayaknya orang yang paling pantas menyimpulkan radikal atau tidaknya konten dalam situs tersebut adalah para ulama atau orang yang benar-benar paham dengan Islam.
Selain itu, definisi radikal seharusnya mempunyai penafsiran yang baku dan batasan tertentu sehingga tidak ada orang salah kaprah. Yang perlu diperhatikan terkait media radikal adalah adanya kemungkinan media itu menyebarkan kebencian dan memprovokasi masyarakat ke arah yang negatif. Memang dalam beberapa media Islam, memuat konten yang mengajak orang-orang untuk beribadah dan beramar makruf nahi mungkar, hal itu juga merupakan bentuk provokasi tapi dalam hal yang positif. Oleh karena itu, tidak boleh menggeneralisasi segala bentuk provokasi ke arah radikalisme.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebijakan pemerintah yang memberedel sejumlah media Islam adalah kebijakan salah kaprah yang bersifat radikal dan merugikan banyak pihak. Namun, sebagai umat beragama, harus tetap mengajak kepada yang makruf dan mencegah kemungkaran sesuai dengan perintah Allah dan rasul-Nya. Wallahu a'lam bisshawaab. (rol)
Pengurus International Student Society National University of Singapore