Dari Kernet Oplet Hingga Jual Petai, Kisah Hidup Basko yang Inspiratif Bikin Haru Netizen

Dari Kernet Oplet Hingga Jual Petai, Kisah Hidup Basko yang Inspiratif Bikin Haru Netizen

RIAUMANDIRI.ID, PEKANBARU - Keterbatasan pendidikan sejatinya bukanlah menjadi penghalang dan alasan untuk meraih kesuksesan. Hal inilah yang dibuktikan oleh seorang Basrizal Koto, pengusaha nasional asal Pariaman, Sumatera Barat.

Pria yang akrab disapa Basko itu menceritakan kisah perjalanan hidupnya saat melakukan diskusi live bersama Host @arieputrabn di akun Instagram Harianhaluan.com, Senin (1/6/2020). 

Basko terlihat bercerita dengan santai. Sembari diiringi tawa riang dan semangat yang berkobar. Cerita itu pun berawal dari kisahnya yang nekat mengutarakan niat ingin merantau di usia yang baru 11 tahun.


Dirinya termotivasi untuk merantau di saat kesusahan melanda kehidupan keluarga. Jangankan untuk bersekolah, makan sehari-hari pun sulit. 

Ibundanya bekerja memungut upah menumbuk padi pada siang hari. Pada malamnya, menganyam tikar untuk dijual, juga sembari bekerja di rumah orang kaya di kampungnya.

"Di umur yang seharusnya sudah bersekolah, di mana teman-teman sudah duduk di bangku sekolah, saya belum bisa seperti mereka. Bukan karena tidak ada kemampuan untuk berfikir, hanya saja ketidakmampuan keluarga untuk menyekolahkan," kata Basko.

Namun hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk bersekolah. Dengan melihat potensi yang ada, dia berdiskusi dengan sang ibunda untuk memulai berdagang. 

"Saya sempat menyatakan keinginan bersekolah ke Amak (Ibunda, red). Ketika itu Amak menangis karena tak bisa menjawab keinginan saya. Lalu, dengan melihat kondisi di belakang rumah ada singkong, ada cabe. Dan potensi ini saya kembangkan untuk dijual," ulasnya.

Di kala itu, Basko kecil masih berumur 6,5 tahun. Dengan tidak ada rasa malu sedikitpun, dia pergi ke sekolah bukan untuk belajar, melainkan untuk berjualan 'kerupuk ramuna' (kerupuk cabe, red) hasil idenya. 

Kerupuk yang berbahan dasar singkong itu sangat laris dijual di sekolah. Jajanan yang dibungkus dengan karisiak (daun pisang kering, red) ditenteng dan dililit ke leher Si Bas, sapaan akrab teman seumurannya.

"Dagangan saya itu, sebelum mereka masuk kelas, sudah habis. Walaupun sudah habis, saya tidak langsung pulang. Saya mengikuti pelajaran di sekolah dengan cara mengintip di luar jendela," jelasnya.

Berdagang kerupuk ramuna dilakoninya hingga umur 11 tahun, yang kala itu duduk dibangku kelas 5 Sekolah Dasar (SD).

Melihat kehidupan keluarga belum juga berubah, Basko berkeinginan untuk merantau ke Kota Pekanbaru. Niat itu pun diutarakan kepada ibunda tercinta, dengan penuh rasa berat hati, kepergian Basko kecil dilepas ibunda.

“Saya izin dengan Amak (ibu, red) saya untuk pergi merantau dari Pariaman ke Pekanbaru. Waktu itu saya janji dalam waktu tiga bulan kalau berhasil bakal bawa Amak dan saudara-saudara saya pindah ke Pekanbaru,” ujar Basko.

"Kepergian saya kala itu, ibunda berpesan tiga hal kepada saya. Pertama, pandai-pandai mambao (membawakan, red) diri. Yang kedua, tau lah dek untuang (tahu dengan untung, red). Ketiga, jangan marokok (merokok, red)," kata Basko dengan bahasa kampungnya.

Dengan menumpang bus Purnama Raya, Basko tiba diterminal Kota Pekanbaru, meski tak tahu apa yang dituju, dia tidak linglung. 

"Sampai di Pekanbaru, yang pertama saya cari adalah karton untuk tempat tidur. Hanya satu hari itu saja saya tidak bekerja di Pekanbaru. Pada hari kedua di Pekanbaru, saya sudah bekerja sebagai sitokar oto (kernet, red)," sambungnya.

Basko pun tak menyia-nyiakan kesempatan sebagai kernet oplet (angkutan kota, red). Servis kepada penumpang menjadi point plus selama ia menjadi kernet oplet.

“Saya tanya penumpang mau turun ke mana. Saya bantu angkat tasnya kalau rumah di tepi jalan. Dari servis penumpang itu, membuat penumpang oplet ramai dan menjadi karyawan kesayangan bosnya. Akhirnya, janji 3 bulan ditepati, saya bawa Amak serta saudara pindah ke Pekanbaru,” kenang Basko.

Puas menjadi kernet oplet, ternyata tekadnya untuk menjadi sukses begitu besar. Ia pun memutuskan untuk kembali nekat berhenti menjadi kernet, padahal sudah jadi kernet kesayangan bos.

Bermodal dari petuah yang diberi oleh sang ibu yaitu tidak boleh tidur selepas menunaikan ibadah Salat Subuh. Sebab, petuah orang tua mengatakan rezeki datang sebelum matahari terbit.

“Setelah Salat Subuh saya keliling pasar. Saya survei lah orang dagang apa saja. Lalu saya lihat ada orang jual petai. Pakai sepeda, baru datang sudah diserbu, akhirnya dengan modal seadanya saya nego dan janjian besok petai saya beli dan dijual lagi,” ungkapnya.

Negosiasi ala anak umur 11 tahun pun berjalan dengan mulus. Tanpa pikir panjang, modal dibayarkan dan diganti dengan kepercayaan selama semalam. Keesokan harinya, syukur pedagang petai menepati janjinya.

“Akhirnya petai pun dijual kembali dengan strategi penjualan yang lebih tersusun. Dengan membedakan jenis petai dan diikat dengan karet gelang. Kemudian, petai yang kualitas bagus dijual di rumah-rumah makan. Keuntungannya bahkan bisa dua kali lipat dari modal,” tutur Basko dengan gelak tawa.

Waktu terus berlanjut. Kisah demi kisah pun ikut berlanjut. Penonton pun semakin dibuat haru. Hal itu dapat dilihat dari komentar yang mereka tuliskan berisi kutipan-kutipan haru.

“Nah saya pun bilang ke Amak bahwa cita-cita saya bukan jadi pedagang petai. Jadi saya coba buka usaha jahit. Karena di Pariaman itu jasa jahit banyak dicari dan harganya lumayan, Amak saya pun ingin saya pandai menjahit,” lanjutnya bercerita.

Dibekali ilmu belajar memotong dan tekat yang bulat, Basko pun memilih menyewa sebuah kedai dan jadilah Rado Tailor, tempat usaha jahit pertama miliknya. Rado Tailor berlokasi di kawasan Bom Baru, Kecamatan Rumbai, Pekanbaru. Kala itu, usianya sekitar 14 tahun.

Dengan strategi menawarkan bahan dan dibantu dengan sepupu yang pandai menjahit di hari pertama, sudah mendapat 10 setel jahitan.

“Pelanggan saya itu didapat dari relasi-relasi ketika menjadi kernet oplet, dan waktu menjadi pedagang petai. Alhamdulillah lancar dan dapat membuka satu cabang di pasar lain,” ungkap Basko.

Setelah puas menjalankan Rado Tailor, ia pun kemudian membulatkan tekad kembali untuk merantau ke Kota Padang. Mengulang petulangan baru. Modalnya diambil dari lelang kedai Rado Tailor. Di Kota Padang, Basko memulai petualangan dengan menyewa ruko hasil dari lelang dua buah kedai.

“Intinya untuk jadi sukses hanya butuh modal kemauan, dan tidak sekolah bukan berarti tidak bisa jadi orang. Mulai dari kecil-kecil dan tekun merupakan modal utama,” pungkas Basko.


Reporter: Akmal



Tags Basko