Teror Terhadap Akademisi, Din: Membungkam Kampus Adalah Pembodohan Kehidupan Bangsa
RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA – Mantan Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin menyayangkan adanya pembungkaman berbentuk teror terhadap kalangan akademisi. Menurut Din, pembungkaman terhadap kampus merupakan bentuk pembodohan.
"Ketika visi tentang Pancasila, apalagi yang termaktub di pembukaan UUD 45, kalau ada pembungkaman kampus, pembungkaman kegiatan-kegiatan akademik, pemberangusan mimbar akademik, itu sebenarnya bertentangan secara esensial dengan mencerdaskan kehidupan bangsa, karena praktik-praktik sebaliknya adalah pembodohan kehidupan bangsa," kata Din saat menjadi pembicara kunci dalam webinar yang ditayangkan akun YouTube MAHUTAMA, Senin (1/6/2020).
Guru Besar Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah itu juga bicara soal kebebasan berpendapat dan mengkritik yang merupakan hak dasar manusia. Menurut Din, ada kondisi tertentu yang membuat mengkritik pemimpinnya.
"Saya melihat kehidupan kenegaraan kita terakhir ini membangun konstitusional dictatorship, kediktatoran konstitusional, bersemayam di balik konstitusi. Seperti ada produk Perppu menjadi UU dan sejumlah kebijakan lain dan juga kemudian menimbulkan ghairu syaukah, istilah imam Gazali itu tidak ada lagi political power, bukan lagi dapat memimpin dan oleh karena itu masyarakatnya akan mengkritik," ujarnya.
Senada dengan Din, Ketua Umum MAHUTAMA Prof Idul Fitriciada Azhari menyebut hak kebebasan berpendapat tak bisa dikurangi termasuk dalam masa pandemi. Kebebasan berpendapat itu juga tak perlu di lawan dengan intimidasi.
"Kita ini dalam kehidupan pandemi, warga ini banyak mengalami pembatasan hak untuk berpergian, berkumpul, banyak sekali. Tetapi dalam keadaan apapun hak untuk menyatakan pendapat tidak bisa dikurangi," kata Aidul.
"Pikiran tidak bisa dibatasi, pikiran juga tidak bisa dipenjara dan tidak ada pengadilan terhadap pemikiran. Semua orang boleh berpendapat. Pikiran hanya bisa dilawan dengan pikiran lagi, bukan dengan jeruji besi, bukan dengan intimidasi, bukan dengan represi," imbuhnya.
Menurutnya, sistim presidensial yang dianut di Indonesia sangat melindungi presiden dari pemakzulan. Dia menyebut, presiden hanya bisa dimakzulkan jika terbukti melanggar hukum.
"Pada dasarnya presiden tidak bisa diberhentikan karena kebijakan yang dibuat, termasuk kebijakan COVID ini. Seburuk apapun kebijakan yang dibuat, kecuali dalam kebijakan itu ada indikasi pelanggaran hukum yang disebutkan dalam konstitusi atau apabila tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan wakil presiden. Justru dengan presidensial ini presiden tidak perlu takut apabila dia tidak melakukan pelanggaran hukum," ucap dia.
Sebelumnya, pelaksana kegiatan diskusi mahasiswa Constitutional Law Society (CLS) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) mendapatkan teror akan dibunuh oleh orang tak dikenal (OTK). Bentuk ancaman yang diterima beragam, yaitu mulai dari pengiriman pemesanan ojek online ke kediaman penerima teror, teks ancaman pembunuhan, telepon, hingga adanya beberapa orang yang mendatangi kediaman mereka.
Dekan Fakultas Hukum UGM Prof Sigit Riyanto menjelaskan secara rinci ancaman pembunuhan yang disampaikan OTK terhadap pelaksanan kegiatan hingga kepada keluarganya. Ancaman itu muncul satu hari sebelum pelaksanaan kegiatan diskusi, yang rencananya digelar tanggal 29 Mei 2020.
"Tanggal 28 Mei 2020 malam, teror dan ancaman mulai berdatangan kepada nama-nama yang tercantum di dalam poster kegiatan, pembicara, moderator, serta narahubung. Berbagai teror dan ancaman dialami oleh pembicara, moderator, narahubung, serta kemudian kepada ketua komunitas CLS," jelas Sigit.