Soal Rencana 500 Pekerja China Masuk RI, Ini Kata Kemenko Kemaritiman dan Investasi
RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA – Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves) buka suara soal kehadiran para tenaga kerja asing (TKA) asing China yang akan bekerja di Sulawesi Tenggara (Sultra). Sebelumnya, ramai diperbincangkan soal 500 TKA China yang akan mengisi pekerjaan di pembangunan smelter di Konawe, Sultra.
Menurut Juru Bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jodi Mahardi, pembicaraan yang berkembang di masyarakat menggiring opini publik seolah-olah TKA dimaksud akan menggeser para pekerja Indonesia. Padahal menurutnya, ratusan TKA ini dipanggil untuk membantu mempercepat pembangunan smelter dengan teknologi RKEF dari China.
Jodi menyebut bahwa TKA China ini hanya akan digunakan saat membangun smelter saja. Jumlahnya pun hanya sebagian kecil dari keseluruhan pekerja yang ada. Selebihnya, saat smelter sudah mulai beroperasi pekerja lokal yang digunakan di pabrik smelter.
Dia juga bicara soal pekerja asing yang sudah bekerja di Morowali dan Weda Bay. Jodi mengatakan TKA di sana pun tak seberapa jumlahnya dibanding dengan tenaga kerja lokal yang dipekerjakan.
Berikut ini pernyataan lengkap Jodi soal TKA China yang bekerja di pabrik smelter di Sulawesi:
Saya perlu menjawab pernyataan beberapa pihak mengenai kehadiran para TKA untuk pembangunan smelter di Indonesia, khususnya Konawe, Sulawesi Tenggara yang menggiring opini publik seolah-olah TKA dimaksud akan menggeser para pekerja Indonesia. Pernyataan yang bisa menimbulkan disinformasi dan keresahan di publik.
Mengapa? Saya akan bicara apa adanya saja. Rencana kehadiran 500 TKA China sekitar akhir Juni atau awal Juli adalah untuk mempercepat pembangunan smelter dengan teknologi RKEF dari China. Kita harus jujur bahwa dengan teknologi RKEF China mereka bisa bangun secara ekonomis, cepat, dan memiliki standar lingkungan yang baik. Teknologi ini juga menghasilkan produk hilirisasi nikel yang bisa bersaing di pasar internasional. Kenapa butuh TKA dimaksud? Karena mereka bagian dari tim konstruksi yang akan mempercepat pembangunan smelter dimaksud. Setelah smelter tersebut jadi, maka TKA tersebut akan kembali ke negara masing-masing. Pada saat operasi, mayoritas tenaga kerja berasal dari lokal.
Apa buktinya? Saya ambil contoh di IMIP yang ada di Morowali yang saat ini mayoritas sudah beroperasi secara penuh, walaupun masih ada sedikit progress pembangunan fasilitas hilirisasi nikel yang sedang dikembangkan. Jumlah tenaga kerja lokal saat ini adalah 39.500 sementara yang TKA ada 5.500. Jadi jumlah TKA kira-kira 12% dari total pekerja, saya yakin jika proses pembangunan smelter yang baru sudah selesai jumlahnya pun akan turun.
Di Weda Bay, yang saat ini sebagian besar masih dalam fase konstruksi, jumlah tenaga kerja adalah 8.900 orang, dengan tenaga kerja lokal sebesar 7.700 dan TKA 1.200. Itupun tenaga kerja lokal masih jauh lebih banyak.
Contoh lain, Di Kawasan industri Virtue Dragon di Konawe, yang kemarin sedang diributkan, jumlah tenaga kerja seluruhnya adalah 11.790 orang , dengan komposisi 11.084 tenaga kerja Indonesia dan 706 TKA China. Jadi kalau nambah 500 TKA untuk mempercepat progress konstruksi agar cepat beroperasi sehingga tenaga kerja lokal bisa lebih banyak diserap, apakah hal itu suatu yang salah? Jadi TKA yang datang ini bukan malah mengambil pekerjaan dari tenaga kerja lokal, tapi justru untuk mempercepat penyerapan tenaga kerja lokal, karena ketika sudah mulai beroperasi, tenaga kerja lokal akan mayoritas.
Ke depan tenaga kerja lokal akan bertambah seiring berjalannya pelatihan keterampilan. Di Politeknik yang ada di dalam Kawasan Industri Morowali bekerja sama dengan universitas di Indonesia, dengan menghadirkan para dosen tetap berlatar belakang pendidikan S2 dari ITB, UI, UGM, ITS, dan menerima para peserta mahasiswa magang pada perusahaan-perusahaan di kawasan IMIP yang nantinya juga dapat bekerja di kawasan IMIP.
Mahasiswa yang diterima di Politeknik pada dasarnya nasional. Saat ini ada beberapa yang dari Sumut, Jawa, Nusa Tenggara, Maluku, namun terbanyak dari kabupaten/kota di Sulawesi. Saat ini jumlah mahasiswanya adalah 273 orang namun dalam Renstra Poltek sudah direncanakan penambahan prodi baru agar mahasiswa mencapai setidaknya 600 orang bahkan lebih.
Apa yang dijalankan pemerintah sekarang adalah implementasi secara konsisten dari semangat Undang-Undang Minerba yang melarang ekspor mineral mentah yang dikeluarkan oleh Pemerintah sebelumnya. Pemerintah sekarang yang mengeksekusi. Hasilnya, selain penyerapan tenaga kerja lokal seperti yang sudah saya jelaskan diatas, adalah devisa ekspor. Pada tahun 2014, ekspor besi baja sebagai produk hilirisasi nikel ini hanya US$ 1.1 milyar, di 2019 angkanya melonjak menjadi US$ 7.2 miliar.
Nikel ini merupakan salah satu peluang kita untuk mentransformasi ekonomi kita. Karena dua hal, pertama Indonesia memiliki cadangan nikel paling besar di dunia, kedua nikel digunakan secara luas di industri. Selain untuk stainless steel, nikel juga merupakan bahan utama dari lithium baterai yang merupakan komponen utama dari mobil Listrik dan hampir seluruh peralatan elektronik yang memerlukan baterai. Yang kita butuhkan adalah investasi hilirisasi di sektor ini. Inilah yang saat ini sedang kita dorong. Mulai 2014, investasi di sektor hilirisasi nikel untuk stainless steel mulai mengalir, seiring dengan dilarangnya ekspor bijih nikel.
Persiapan sumber daya manusia untuk menyambut hilirisasi bahan material untuk lithium baterai pun disiapkan sejak dini, 22 orang mahasiswa mendapatkan beasiswa untuk menempa pendidikan magister hidrometalurgi, pada september 2019 sudah berangkat ke luar negeri. Dan mulai tahun ini (setelah normalisasi restriksi akibat pandemic COVID-19) tambahan pengiriman 500 orang mahasiswa dengan target 3.000 orang sampai dengan 2024 untuk program S-1, S-2, S-3 dan program kejuruan. Nantinya lebih banyak sumber daya manusia akan mendapatkan pelatihan kejuruan atau melanjutkan pendidikan tinggi dan mendapatkan transfer of knowledge dan transfer of technology yang akan bermanfaat bagi Indonesia untuk leap frog dalam pengembangan industri ke depan.