Ikatan Alumni Unand Bahas Dampak Covid-19 Melalui Webinar
RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA - Dampak pandemi Covid-19 sangat meluas dan bergerak cepat ke semua sektor kehidupan, terutama kesehatan, ekonomi dan hukum. Persoalan ini dibahas tuntas dalam webinar Ikatan Alumni Universitas Andalas Chapter Jabodetabek (Jabodetabek Sharing Club) yang digelar Sabtu (9/5/2020) sore. Acara ini dipandu host berpengalaman di bidang Covid-19, dr Mulyadi Muchtiar, MARS sekaligus Ketua IKA Unand Jabodetabek dan Direktur RS Yarsi Jakarta.
Pakar kesehatan ahli paru, dr Andika Chandra Putra Ph.D menyampaikan kekhawatirannya terhadap rendahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat terhadap gejala Covid-19.
"Corona itu tidak seindah namanya karena 80% penderita adalah orang tanpa gejala (OTG) dan mereka hampir tidak ada keluhan. Kemudian dibandingkan SARS, MERS, virus ini masih dianggap level rendah dengan masa inkubasi yang sama selama 14 hari. Gejalanya hampir sama dengan flu dan sesak nafas," ujar dokter khusus Covid-19 Wisma Atlet ini.
Ia juga menyampaikan, kedisiplinan adalah kunci pemutusan mata rantai penyebaran Covid-19, termasuk taat dalam menjalankan protokol kesehatan yang sudah disusun.
"Semua orang tidak cukup dengan kesadaran saja, tetapi harus disiplin dan konsisten menjalankan aturan seperti di rumah saja, cuci tangan selalu, pakai masker, physical distancing, dan tidak mudik untuk mengurangi resiko penularan kepada kelompok rentan," pungkasnya.
Coronavirus merupakan salah satu penyebab kerusakan paru yang disebut pneumonia. Pada orang dengan daya tahan rendah, kerusakan tersebut dapat mengakibatkan kondisi kritis.
"Untuk menghindari transmisi atau penularan diperlukan karatina wilayah yang efektif sehingga mencegah penyebaran di wilayah tertentu. Tetap lakukan pola hidup sehat dan isolasi mandiri bagi yang terkonfirmasi positif dengan gejala ringan atau tanpa gejala," tambahnya.
Selain kesehatan, pandemi Covid-19 juga membuat aktifitas ekonomi berantakan dan pertumbuhannya melamban serta terjadi inflasi yang signifikan. Rudi Rusli, Koordinator Bidang Ekonomi, Kewirausahaan dan UMKM IKA UNAND Jabodetabek memaparkannya secara global.
"Dalam menghadapi pandemi Covid-19, yang menjadi "panglima" adalah protokol kesehatan. Sedangkan sendi-sendi kehidupan lainnya harus mengalah dan harus rela tidak menjadi prioritas karena efeknya ke seluruh perekonomian dunia. Bahkan IMF memprediksi dalam outlook-nya yang berjudul "The Great Lockdown" bahwa dampak pandemi Covid-19 ini akan menyebabkan turunnya perekonomian dunia menjadi minus 3 persen. Yang berarti lebih buruk dampaknya dibanding krisis keuangan global tahun 2009 lalu," jelas Rusli.
Selama krisis pandemi ini masih belum bisa diatasi, maka perekonomian dan bisnis tidak dapat berjalan normal. Dari sisi dunia usaha, yang perlu dilakukan adalah berusaha untuk mengambil kebijakan menyelamatkan likuiditas perusahaan.
"Perlu dilakukan strategi bisnis sebagai contigency plan menghadapi Covid-19 ini. Perlu juga dibentuk tim manajemen krisis untuk memonitor perkembangan dan tindaklanjut dalam penyelamatan perusahaan" tambahnya.
"Di luar itu, secara umum pemerintah diharapkan dengan segala kebijakannya dapat terus mendorong akselarasi ekonomi rakyat, sehingga dapat berjalannya mekanisme demand-supply secara optimal. Peran masyarakat pun dalam menggalang solidaritas sosial diharapkan terus berperan menyelamatkan masyarakat sekitarnya yang terdampak Covid-19 ini," tegas Rusli.
Dampak dari Sisi Hukum
Dari sisi hukum, Direktur Legal Culture Institute, M Rizqi Azmi berpendapat pemerintah harus mengambil kebijakan krisis yang terukur dan tegas. Sebab menurutnya, sudah hampir 3 bulan pandemi ini melanda Indonesia tapi tidak ada pemulihan yang berarti
"Pemerintah dari awal sebenarnya membuang waktu selama 2 bulan semenjak kejadian Wuhan sampai penetapan PSBB tanggal 31 Maret dan pelaksanaan pertama kali di Jakarta pada tanggal 10 April. Coba kita analisa, begitu lamanya pergerakan. Terhambat hanya karena beleid yang disusun dan dipertimbangkan sehingga Pemda tidak bisa bergerak. Padahal bukan mereka tidak mampu. Tapi tertahan miskoordinasi," ujar Rizqi.
Selanjutnya, ia juga meminta Presiden agar mengeluarkan exit strategy dengan regulasi pamungkas dengan melihat keadaan masyarakat di masa Covid-19.
"Presiden harus melihat kenyataan bahwa PSBB tidak terlalu efektif karena pada kenyataanya korban selalu bertambah ratusan setiap harinya dan kemudian regulasinya yang longgar rentan dilanggar masyarakat karena tidak adanya ketegasan. Misalkan Permenhub 25 Tahun 2020 yang awalnya memberikan pembatasan ketat terkait kegiatan masyarakat dikecualikan untuk petugas dan pejabat, kini diberikan relaksasi atau pelonggaran bagi segelintir urusan seperti bisnis dan kebutuhan yang tidak terukur perizinannya. Ditambah lagi pemberian diskresi pada petugas lapangan yang menyebabkan aturan menjadi abu-abu," tandasnya.
Oleh sebab itulah, ia mengharapkan adanya Perppu yang mengatasi tumpang tindih kebijakan (beleid) di lapangan.
"Harapan kita sejak awal sebenarnya presiden mengeluarkan Perppu pamungkas terkait pelaksanaan pemberantasan Covid-19 ini. Bukan Perppu merubah postur anggaran APBN, tetapi bagaimana mekanisme yang baik untuk memutuskan mata rantai Covid-19 plus ada sanksi pidana sehingga aturan di bawahnya bisa mengikuti dan tidak mencari pasal-pasal karet yang ada di KUHP dan pasal yang tidak nyambung di UU No 6 Tahun 2018 terkait sanksi pidana khusus karantina laut dan udara. Banyak yang tidak sepadan dengan konstitusi sehingga harus dibenahi dengan peraturan perundang-undanhan yang ajeg. Semuanya harus menyelesaikan kisruh di grass root dikarenakan salah penerapan UU dan beleid," paparnya.
"Aturan yang baik harus memenuhi arahan moralitas dan memberikan kemanfaatan sebanyak-banyaknya. Seperti ajaran utilitarian, the greatest happiness for the greatest number. Tidak hanya segelintir orang yang menerima kompensasi dan keuntungan dari pandemi ini. Semuanya terdampak dan semua harus merasakan negara hadir memberikan kemakmuran, keadilan dan kepastian hukum," tutupnya.