Wapres dalam Perspektif Konstitusi

Wapres dalam Perspektif Konstitusi

Tulisan ini mencoba menguraikan bagaimana perspektif  konstitusi (UUD 1945) melihat posisi wakil presiden (wapres) di negeri ini. Sebab hari ini, boleh dikatakan Jusuf Kalla (JK) sebagai wapres tak punya peran apa-apa. Berbeda halnya ketika JK bersama SBY dulu (2004-2009). Terutama peran JK menangani konflik dan “mendamaikan” daerah yang sedang berkonflik.

Sebagai Pembantu
Menarik bilamana kita saksikan realita di istana belakangan ini. Di mana presiden tak melibatkan wapres dalam mengambil sejumlah keputusan penting. Atau dalam bahasa lain wapres dalam banyak hal tidak diajak komunikasi oleh presiden. Misalkan perihal tidak jadi melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri, dan yang paling hangat-hangatnya dan membuat JK semakin tak berdaya yang kemudian berujung kepada “cemburu buta” adalah Peraturan Presiden (Perpres) 26/2015 mengenai penambahan kewenangan Luhut Panjaitan sebagai kepala staf ahli kepresidenan.

Pasal 6A Ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyebutkan bahwa: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Kendatipun punya legitimasi yang sama dengan presiden karena sama-sama dipilih oleh rakyat, namun dari sisi kewenangan, wapres ternyata bukanlah siapa-siapa. Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa: “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Sama sekali tidak menyebutkan presiden dan wapres. Bahkan pada ayat berikutnya, ayat (2) dari Pasal 4 tersebut menyebutkan bahwa: “Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden”. Jadi wapres yang dipilih seca langsung oleh rakyat di dalam Pasal 6A Ayat (1) tersebut adalah pembantu presiden.

Jadi, mencermati Pasal 4 UUD di atas dan juga pada pasal-pasal yang lain di dalam UUD 1945 serta peraturan perundang-undangan yang lainnya, posisi wapres tak obahnya seperti seorang asisten dosen di dunia kampus. Presidennya adalah dosen utama/dosen pengampu mata kuliah yang bersangkutan. Kewenangan untuk mengajar adalah ada di tangan dosen pengampu. Sang asisten baru “berwenang” untuk mengajar/masuk kelas andaikata ada “mandat” dari dosen pengampu. Artinya dosen pengampu berbaik hati untuk berbagai tugas untuk mengajar. Tanpa itu, asisten dosen bukan siapa-siapa kendatipun ada SK Rektor tentang itu.

Jadi yang punya kewenangan tetap itu adalah Presiden. Sedangkan wapres sama sekali tidak. Wapres baru bekerja andaikata sang presiden “berbaik hati” untuk berbagi. Misalkan presiden meminta wapres untuk mewakilinya, meminta wapres untuk membantunya, meminta wapres untuk mendampinginya. Tanpa itu, wapres tak ada kerjaan. Hanya bisa duduk manis dan sama sekali tak bisa berbuat apa-apa. Wapres baru ada kerjaan kalau dipanggil atau diminta oleh presiden.

Atau dalam bahasa lainnya wapresi tak obahnya seperti ban serap pada mobil. Baru difungsikan kalau ban utamanya rusak. Maka wapres “pandai-pandailah” dengan presiden. Pandai mengambil hati presiden. Karena lagi-lagi wapres adalah pembantu presiden. Sama halnya menteri-menteri yang juga merupakan pembantu presiden. Bedanya, pertama, kalau wapres dipilih secara langsung oleh rakyat. Sedangkan menteri tidak dipilih, tapi ditunjuk langsung presiden. Kedua, wapres tidak dapat diberhentikan oleh presiden. Sedangkan menteri dapat diberhentikan oleh presiden. Ketiga, andaikata presiden berhalangan tetap, wapres lah secara langsung yang menggantikan posisi presiden. Sedangkan menteri-menteri tidak dapat menggantikannya secara langsung.

Jadi posisi wapres yang bergengsi secara ketatanegaraan, lebih tinggi, dan lebih penting dibandingkan dengan menteri-menteri sebagai pembantu presiden hanyalah poin ketiga. Lebih jelas Pasal 8 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa: “Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya”.

Seperti halnya sejarah ketatanegaran negeri ini mencatat, bahwa ketika Presiden Soeharto mengundurkan diri, maka wapres B.J. Habibie lah yang menggantikannya sebagai presiden yang tetap. Begitu juga Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur) ketika diberhentikan oleh MPR di tahun 2001 yang lalu. Karena Megawati wapresnya ketika itu, maka Megawati lah yang kemudian dilantik menggantikan posisi Gusdur sebagai presiden.

Intinya adalah bahwa wapres bukan siapa-siapa. Kewenangan wapres tergantung kepada kemurahan hati seorang presiden untuk berbagi kewenangan.***
Dosen dan Pembina Perhimpunan Mahasiswa Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UIR.