Masyarakat Harus Tahu, Penyaluran BLT Dana Desa Covid-19 Harus Tunai, Bukan Berbentuk Sembako
RIAUMANDIRI.ID, ROKAN HILIR - Di tengah pandemi Covid-19, Pemerintah memberikan bantuan Dana Desa berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat prasejahtera di desa. BLT Dana Desa diberikan dalam bentuk uang, bukan berbentuk barang ataupun sembako.
Hal itu pun telah ditegaskan oleh Menteri Desa Abdul Halim beberapa waktu lalu.
"Ada yang bertanya, apakah boleh BLT Dana Desa diberikan dalam bentuk sembako? Jawabannya tidak boleh, harus berupa uang,” tegas Menteri Desa Abdul Halim dalam konferensi pers pada Senin (27/4/2020) lau.
Terkait hal itu, pemuda yang juga aktivis asal Rohil, Jhosua Saragih mengajak seluruh masyarakat prasejahtera penerima BLT-Dana Desa Covid 19 agar menolak apabila BLT yang akan diberikan kepada mereka sebesar Rp600.000 per bulan selama tiga bulan tersebut diberikan dalam bentuk paket sembako. Hal ini sesuai dengan Perpu Nomor 1 Tahun 2020, Permendes PDPTT Nomor 6 tahun 2020, dan PMK Nomor 40 tahun 2020.
"Saya mengajak seluruh masyarakat prasejahtera yang menerima bantuan BLT-Dana Desa Covid-19 ini untuk menolak apabila bantuan yang akan diterima dalam bentuk paket sembako," ujar Jhosua Saragih, Rabu (6/5/2020).
Menurutnya, apabila bantuan BLT Dana Desa yang hendak diberikan kepada masyarakat prasejahtera tidak diberikan berupa uang tapi berupa paket sembako, tidak menutup kemungkinan terdapat indikasi tindakan korupsi.
"Mengapa kita mengajak masyarakat penerima untuk menolaknya? Karena apabila BLT Dana Desa Covid-19 ini tidak diberikan dalam bentuk uang tapi diberikan berupa paket sembako maka terdapat indikasi korupsi di dalamnya," lanjut Jhosua.
Jhosua berkata, dengan kompaknya masyarakat menolak bantuan dalam bentuk sembako, maka masyarakat dapat lebih memahami hal-hal yang bersifat substansial serta sudah ikut serta berperan aktif dalam mencegah tindakan birokrasi yang mengarah kepada korupsi.
"Kalau sama-sama kita hitung, besaran BLT Dana Desa untuk membantu masyarakat prasejahtera dalam menghadapi Pandemi Covid-19 ini sebesar Rp600.000. Seandainya BLT yang akan diberikan ini diubah menjadi paket sembako kemungkinan tidak sampai Rp600.000, bisa jadi sekitaran Rp500.000. Selanjutnya Rp600.000 - Rp. 500.000 masih ada tersisa Rp100.000, lalu kita kalikan dengan total keseluruhan penerima BLT ini dalam satu desa atau 1 kecamatan. Maka akan timbul pertanyaan dalam benak kita ke mana sisanya? Untuk itu, mari sama-sama kita mencegah adanya kemungkinan-kemungkinan tindakan korupsi yang hendak dilakukan oleh birokrasi setempat dengan menolak diubahnya Bantuan Langsung Tunai (BLT) ini dengan bantuan paket sembako," tegas aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) ini.
Menurutnya, otoritas setempat juga harus transparan terhadap data penerima bantuan ini agar tidak menimbulkan kecurigaan serta kecemburuan di kalangan masyarakat.
"Kita juga meminta kepada otoritas berwenang harus transparan terhadap data penerima bantuan BLT Dana Desa ini sesuai dengan UU Nomor 18 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik,"
ujarnya.
"Kepada masyarakat prasejahtera yang menerima BLT- Dana Desa Covid-19 agar tidak takut dalam memperjuangkan haknya, karena itu adalah hak kalian yang sudah sepatut serta sepantasnya kalian terima agar dapat digunakan untuk berjuang serta bertahan dalam mengahadapi masa-masa pandemi seperti ini," sambungnya.
Dia menambahkan, dengan dilibatkannya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pengawasan dana yang cukup besar pada proses pemberian bantuan ini, diharapkan dapat mencegah terjadinya korupsi.
"Satgas Pengawasan bantuan ini dan KPK agar serius melakukan pengawasan dan menindak tegas pejabat-pejabat nakal yang coba memainkan bantuan ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019," tutupnya.