YLBHI Ungkap Kejanggalan Polisi dalam Penangkapan Aktivis Ravio Patra
RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA - Polda Metro Jaya telah membebaskan aktivis Ravio Patra atas dugaan penghasutan kekerasan. Namun Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengkritik mekanisme penangkapan aktivis Ravio oleh pihak kepolisian kala itu.
Ketua YLBHI Asfinawati mengatakan polisi tidak menyertakan pemanggilan terlebih dahulu kepada Ravio yang berstatus saksi, sehingga alasan penangkapan terhadap Ravio dianggap tidak valid.
"Kan orang itu ditangkap harusnya kalau dipanggil tidak datang-datang gitu ya dan ada kemungkinan dia nggak mau datang atau dia mau melarikan diri ditangkap. Tapi kalau dipanggil saja tidak pernah, bagaimana orang bisa ditangkap? Jadi tidak ada alasan yang valid untuk menangkap mereka. Masalahnya juga adalah ketika orang tidak dengar dulu keterangannya, dia tidak bisa memberikan bantahan dan kemudian kita akhirnya tahu bahwa statusnya sebagai saksi," kata Asfinawati melalui siaran langsung dari kanal YouTube BEM UI, Rabu (6/5/2020) seperti dikutip dari Detikcom.
Asfinawati juga menyoroti penangkapan Ravio yang dilakukan pada malam hari. Pasalnya, hal tersebut dirasa aneh lantaran waktu pemeriksaan yang tidak akan berjalan efektif.
"Kalau orang ditangkap tengah malam jam 9 malam, apa iya masih bisa diperiksa? Nggak ngantuk orang? Kan kalau kalau kita tahu standar pertanyaan kepolisian itu adalah apakah Anda dalam keadaan sehat untuk didengar keterangannya? Gitu ya, jam 12 malam siapa yang sehat? Baru ditangkap jam 9 sampai kantor polisi jam 10. Jam 10 malam adalah waktu yang sangat aneh untuk memeriksa," ujarnya.
Lebih lanjut Asfinawati berkata, penangkapan yang dilakukan pihak kepolisian semestinya hanya untuk memudahkan pemeriksaan. Dalam hal ini, menurutnya, polisi tidak berhak menghukum atau menentukan kesalahan seseorang kecuali atas dasar putusan hakim.
"Penangkapan itu bukan untuk menghukum orang karena yang menentukan kesalahan orang adalah pengadilan. Kalaupun orang sudah dibawa ke pengadilan, dia belum tentu bersalah. Itu asas praduga tidak bersalah, sampai ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, dan ketika prosesnya masih di kepolisian, penangkapan atau penahanan sebetulnya undang-undangnya mengatakan untuk kepentingan pemeriksaan, untuk memudahkan pemeriksaan," katanya.
Dia melihat keanehan lainnya pada kasus Ravio yang dilaporkan oleh pihak kepolisian. Ia merasa ada kejanggalan ketika kasus ini pun juga ditangani oleh pihak kepolisian.
"Dan yang menarik, kasus seperti Ravio ini tidak hanya menimpa Ravio seperti yang kita katakan tadi, ini berulang dari pola nyaris di seluruh kasus kasus kriminalisasi. Ciri yang lain adalah laporannya adalah laporan tipe A, yaitu laporan yang dilaporkan oleh anggota kepolisian. Jadi ada dua laporan, laporan yang dilakukan oleh masyarakat dan laporan yang dilakukan oleh kepolisian sendiri. Jadi kita bisa tahu, kasus Ravio yang melaporkan polisi, yang menyidik polisi, gitu ya. Jadi pertanyaannya, ini kasus buat siapa? Begitu,"katanya.
Senada dengan Asfinawati, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Gandjar Bona L Prapta mengatakan polisi telah menyalahi prosedur penangkapan bagi mereka yang berstatus saksi. Dia menyebut penangkapan hanya boleh dilakukan bagi mereka yang tidak kooperatif saat dilakukan pemanggilan.
"Tidak boleh menangkap saksi. Penangkapan itu hanya dua hal, tertangkap tangan atau terhadap tersangka yang tidak kooperatif dipanggil sekali, dua kali, tidak hadir, ditangkap. Jadi nggak boleh orang biasa ditangkap sedang duduk-duduk, kecuali kalau tertangkap tangan kan. Yang tertangkap tangan yang utama adalah sedang melakukan tindak pidana, siapa saja bisa melakukan. Jadi dari sudut ini saja sudah melihat sesuatu yang kenapa ini dilakukan ya," kata Gandjar.
Lebih lanjut Gandjar melihat polisi tidak memberikan surat perintah penangkapan terhadap Ravio kala itu. Padahal, katanya, hal itu dapat melanggar prosedur hukum.
"Jadi kita lihat bagaimana ketika dikeluarkan, publik protes, banyak orang komentar tiba-tiba dengan mudahnya dibilang ini bukan penangkapan, ini namanya pengamanan dan lain-lain. Buktinya, mereka bilang tidak ada surat perintah penangkapan, lho bukan suratnya justru kita mengkritisi substansinya ya, justru karena tidak ada suratnya, yang Anda lakukan itu tampak sebagai sebuah penangkapan," ujarnya.
"Harus ada suratnya. Jadi, kalau nggak apa pengamanan, kita tanya nanti pengamanan itu seperti apa sih sebetulnya langkah-langkahnya? Dan ini sesuatu yang menurut saya melanggar hukum, melakukan pelanggaran hukum oleh penguasa orang yang berwenang itu dari sisi proses hukumnya," sambung Gandjar.