Ulah Pemimpin Derita Rakyat?
Oleh: Prof Dr Alaiddin Koto, MA
RIAUMANDIRI.ID - Entah sudah berapa kali saya mengatakan tentang apa yang pernah diucapkan oleh Prof. Deliar Noer, dua puluh tiga tahun yang silam. Tepatnya di bulan Juli 1997, ketika IAIN Suska Pekanbaru menyelenggarakan Seminar Internasional tentang Reawakening Asia. Pada saat itu, Riau, termasuk Pekanbaru, untuk pertama kalinya, diselimuti asap tebal karena kebakaran hutan yang begitu masif. Banyak penerbangan yang terkendala menuju Pekanbaru, baik dari dalam maupun dari luar negeri.
Di sela-sela seminar itu, Pak Deliar berbisik kepada saya, “Alaiddin. Ini bukan asap, tetapi azab. Kamu lihatlah nanti akan datang azab-azab berikutnya kepada penduduk negeri yang sudah durhaka kepada Allah ini.”
Saya terdiam, karena merasa sependapat dengan beliau. Saya hanya mengangguk saja, “ya Pak.” Setelah itu beliau berdiri karena sudah dipanggil sebagai salah satu pembicara di seminar itu.
Kini, peristiwa itu sudah dua puluh tiga tahun berlalu. Namun ucapan Pak Deliar selalu terngiang di telinga dan membekas sangat dalam di hati saya. Rasanya saya ingin menangis, ingat guru yang mendidik dan mengajarkan kepada saya berfikir kritis serta apa artinya politik dan bagaimana harusnya berpolitik dalam Islam.
Ucapan beliau seratus persen terbukti. Mulai Juli 1997 yang berasap tebal, disusul krisis moneter yang diwarnai huru-hara, tumbangnya rezim Orde Baru, lahir reformasi 1998 yang semula diharap membawa perubahan kepada kebaikan, tetapi entah di mana salahnya lalu negeri ini ditimpa musibah (azab, istilah Pak Deliar) berkepanjangan dari tahun ke tahun, dari satu presiden ke presiden berikutnya, terus menerus dirundung masalah. Habis satu masalah, muncul masalah berikutnya. Bahkan habis satu masalah, muncul dua dan tiga masalah lagi. Begitu terus selama dua puluh tiga tahun tiada henti.
Bahkan, kini lebih mengerikan, ternyata tidak hanya Indonesia, dunia yang ditimpa masalah secara universal. Wabah virus corona melanda dan mengancam kehidupan manusia di muka bumi, muka yang—menurut istilah Pak Deliar –sudah berlumur kedurhakaan yang melampaui batas kepada Allah.
Bagi orang beriman, semua bencana, termasuk wabah corona, diyakini tidak akan melanda tanpa sepengetahuan dan seizin Allah, walau penyebabnya datang dari manusia sebagai akibat dari perbuatannya sendiri. Akibat dari perbuatan, adalah resiko yang harus diterima oleh siapa saja yang melakukan perbuatan itu.
Seorang pembohong, misalnya, harus menerima akibat kehilangan kepercayaan dari orang yang pernah dibohonginya. Begitu juga halnya seorang yang suka menipu dan berkhianat. Kredibilitasnya hancur. Harga dirinya hilang. Orang tidak akan percaya lagi apa pun yang dikatakannya. Sanksi hukumannya juga seperti itu, baik oleh negara maupun oleh Tuhan. Siapa yang mencencang, dia yang akan memikul sendiri cencangannya. Dia yang akan celaka, dan ia juga yang akan merasakan sendiri kecelakan itu. Bila yang melakukannya seorang yang hanya berstatus sebagai pribadi biasa, maka sanksi hukum itu hanya ia yang akan merasakannya.
Namun lain halnya bila yang berbuat itu seorang pemimpin. Akibat dari perbuatan yang ia lakukan, tidak hanya akan menimbulkan petaka bagi dirinya, tetapi juga bagi kaum atau rakyat yang dipimpinnya. Ekonomi negerinya hancur. Alamnya ditimpa bencana. Masyarakatnya huru hara. Masalah sosial lainnya muncul di mana-mana. Rakyat hidup dalam kecemasan dan bahkan keputusasaan. Inilah yang pernah dirasakan oleh umat-umat terdahulu. Mereka dihukum Allah dengan berbagai bencana: ada yang dengan angin sangat panas sehingga mereka mati terbakar; ada yang dengan angin puting beliung sangat kencang, sehingga mereka mati terlempar ke sana-sana sini dan ditimpa reruntuhan bangunan atau batu-batuan; ada yang dengan membalikkan bumi di mana mereka tinggal, sehingga mereka terkubur ke dalam tanah; dan berbagai wabah lainnya sebagai hukuman dan kutukan Allah.
Semua ditimpakan oleh Allah dengan alasan manusia sudah mencukupi syarat untuk diberi hukuman setimpal dengan kejahatan yang mereka lakukan, setelah terlebih dahulu diberi peringatan agar tidak berbuat kedurhakan dan kerusakan di muka bumi. Allah tidak akan pernah menghukum satu kaum tanpa memberi peringatan terlebih dahulu agar tidak berbuat kedurhakaan kepadaNya. Bila peringatan itu tidak diindahkan, maka barulah hukuman itu ditimpakan kepada mereka (baca: QS.17:16). Artinya, hukuman dijatuhkan Allah kepada suatu kaum, bila kaum itu telah memenuhi syarat untuk dijatuhi hukuman.
Namun, ada satu hal yang perlu diingat baik-baik, yaitu, hukuman tersebut tidak hanya akan mengenai si pemimpin yang berbuat kedurhakaan, tetapi juga akan menimpa negeri dan kaum yang dipimpinnya, walau mereka tidak ikut melakukan kedurhakaan tersebut. Peringatan semacam Inilah yang disebut oleh Allah dalam surat 8 ayat 25, “takutlah kalian akan hukuman Allah yang tidak hanya akan menimpa orang yang berbuat zalim saja secara khusus.”. Begitu juga dalam surat 14:28. Allah mengatakan bahwa pemimpin yang menjadikan nikmat (kekuasaan) yang ada padanya untuk berbuat kedurhakaan kepada Allah, adalah pemimpin yang sedang membawa kaumnya ke jurang kehancuran.
Ada banyak bentuk perbuatan pemimpin yang menyebabkan Allah murka dan menimpakan azab kepadanya dan kaumnya sekalian. Di antara perbuatan tersebut adalah kesukaan berbohong, main akal-akalan, dan merekayasa tipu daya untuk melindungi kepentingan pribadi atau kelompoknya sendiri dengan mengabaikan kepentingan rakyat banyak yang berada di bawah kepemimpinannya. Allah mengatakan bahwa main akal-akalan untuk mengakal-akali orang banyak tergolong kepada kedurhakaan besar kepada Allah. (QS.71:21-22). Mereka tidak sadar kalau perbuatannya berada dalam pengetahuan Allah. Mereka tidak tahu, kalau Allah sedang melihat apa yang mereka lakukan (QR:71:22, 13:42, 14:46). Perbuatan itu membuat Allah sangat murka dan akan menghukum mereka dengan menghancurkan negerinya sekalian (13:33-34).
Secara verbal Allah mengungkapkan kemurkaanNya kepada pemimpin (pejabat) seperti itu dalam surat 27 ayat 50-51 yang secara substansial dapat diartikan, “Kami reka tipudaya di atas tipu daya yang mereka rekayasa, lalu setelah itu kami hancurkan mereka dengan kaumnya sekalian tersebab tipudaya mereka sendiri.” Allah akan hancurkan tempat kediaman mereka dan mendatangkan bencana dari arah yang mereka tidak sadari. (QS.16:26).
Begitu juga perbuatan suka berbohong. Puluhan kali Allah memberi peringatan kepada orang yang suka berbohong. Allah kutuk mereka (QS.3:61, 45:7), dan tidak akan memberikan hidayah kepada mereka (40:28). Tentu, adalah hal yang sangat berbahaya bila yang dikutuk dan tidak diberi hidayah itu adalah para pemimpin negeri. Mereka akan menjadi pemimpin yang tidak dipedulikan oleh Allah. Dibiarkan berjalan sendiri sesuai kehendak nafsunya. Mereka akan menjadi pemimpin yang dikendalikan oleh yang selain Allah. Hawa nafsunya, atau setan yang sejatinya adalah musuh utama manusia. Mereka akan dijerumuskan setan dan seterusnya akan menjerumuskan negeri dan kaum yang dipimpinnya. Sungguh, suatu bahaya yang sangat besar.
Ada sebuah pertanyaan penting mengikuti alur berfikir seperti di atas. Kenapa prilaku pemimpin dapat menghancurkan kaum dan negeri yang dipimpinnya juga sekalian?
Karena, pada hakikatnya, pemimpin adalah orang yang berdiri di depan kaum yang dipimpinnya. Tidak hanya di depan, tetapi adakalanya juga ia berdiri di tempat yang lebih tinggi dari kaum yang dipimpinnya itu.
Maka, sebagai figur yang berada di posisi seperti itu, gerak gerik seorang pemimpin akan menjadi pusat perhatian oleh kaum yang dipimpinnya. Lama kelamaan, lambat tapi pasti, gerak gerik sang pemimpin akan mempengaruhi gerak gerik atau prilaku para pengikutnya. Prilaku itulah kemudiannya yang akan menjadi karakter kaum atau anak-anak negeri yang dipimpin oleh si pemimpin. Disadari atau tidak, prilaku mereka akan menular menjadi karakter kaum yang dipimpinnya. Bila pemimpinnya berprilaku baik, maka akan baik pulalah prilaku dan karakter kaum yang dipimpinnya.
Selanjutnya, bila kaum di suatu negeri memiliki karakter baik, maka akan baik dan sejahteralah negeri itu. Karena, Allah sayang kepada kaum yang berkarakter baik. Begitu juga sebaliknya. Negeri yang pemimpinnya berkarater buruk, kaummya akan tertular dan terbawa-bawa menjadi berprilaku buruk pula. Begitu seterusnya. Bila kaum di satu negeri berkarakter buruk, maka akan buruklah negeri itu sebagai akibat dari prilakunya dan juga sebagai hukuman dari Allah kepadanya. Karena, seperti disinggung dalam beberapa ayat di atas, Allah akan hancurkan negeri yang penduduknya berprilaku buruk.
Adalah hal yang umum terjadi, pemimpin yang berkarater buruk akan lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan atau kelompoknya dibanding kepentingan orang banyak. Penduduk yang berada di bawah kepemimpinan seperti itu juga akan terbawa-bawa berprilaku seperti itu pula. Alam dieksploitasinya secara tamak, sehingga perut bumi menjadi kosong, daratan bumi jadi gundul, udara jadi tercemar. Hukum diabaikan, banyak kantor yang berubah menjadi ladang buruan meraup kekayaan sebanyak mungkin melalui korupsi. Masyarakat saling bersengketa. Kepercayaan berubah menjadi saling curiga. Akhirnya, negeri seperti tidak punya pemimpin. Semua berbuat sesuka hati. Saat itulah akhirnya alam bereaksi mendatangkan bencana yang membuat manusia di atasnya menjadi sengsara, bukan hanya menimpa mereka yang berbuat keburukan, tetapi mengenai semua yang ada di atasnya.
Maka, ketika alam sudah bereaksi dengan menebar bencana atas persetujuan Allah, dengan virus corona misalnya, seharusnya manusia kembali ke alam kemurnian dirinya untuk apa mereka dicipta oleh Yang Maha Kuasa. Manusia harus sadar kembali bahwa mereka dicipta sebagai khalifah yang diamanahi mengurus dan memakmurkan bumi untuk keperluan bersama, menurut pedoman dari Sang Pencipta. Mentaati aturan-Nya, bukan untuk terus berbuat kedurhakaan kepada Sang Pencipta. Mereka dicipta untuk mengurus bumi, bukan untuk menguras dan mengeksploitasi bumi mengikuti kepentingan pribadi dan atau kelompok sendiri.
Wabah corona yang kini sudah menjadi pandemi dan sangat membahayakan ini sudah seharusnya dijadikan oleh manusia, terutama mereka yang tergolong kepada pemimpin membuat mereka sadar agar kembali menjadi manusia yang baik, bukan justru menjadi semakin durhaka dengan memanfaatkan kesusahan yang sedang dihadapi oleh orang lain, menjadikan bencana sebagai moment menaikkan citra pribadi secara politis atau materi.
Adalah malapetaka yang lebih besar bila dengan situasi seperti sekarang masih ada orang, terutama mereka yang sedang atau yang pernah jadi pemimpin, yang tidak mau sadar dan tetap saja melakukan kebiasaan-kebiasaan buruk sebelumnya. Itulah manusia yang hatinya telah dikunci mati oleh Allah dan tidak akan pernah bisa lagi menerima kebenaran dari siapapun. Tidak ada satupun kebaikan lagi yang bisa diharapkan dari orang--terutama pemimipin-- seperti ini, kecuali kehancuran negeri yang dipimpinnya menjadi kehancuran lebih mengerikan lagi.
Ada dua macam manusia yang masuk ke dalam kelompok ini: Pertama, seperti disebut di atas, manusia yang hatinya sudah dikunci mati oleh Allah akibat terlalu banyak dosa yang dilakukannya dan tidak pernah ada keinginan untuk bertobat. Hidupnya benar-benar telah dikuasai oleh hawa nafsu yang dikendalikan oleh setan; kedua, mereka yang memang tidak percaya sama sekali kepada Allah, yaitu kaum atheis, komunis. Manusia dengan dua tipe inilah yang sepenuhnya telah dilepaskan Allah dari pandanganNya, dan dari hidayaNya. Inilah manusia yang hidupnya sepenuhnya dikuasai oleh nafsu. Manusia tipe ini, sekali lagi, akan menjadi sangat berbahaya, bila sempat manjadi pemimpin. Karena, yang ada dalam hatinya adalah kepentingan dan kepentingan. Materi dan materi. Ia telah menjadi hamba dari kepentingan dan materi itu sendiri. Dia tidak peduli kepentingan orang banyak yang harus dilindunginya sebagai pemimpin. Inilah manusia yang sudah mati rasa dengan kehidupan orang lain yang menderita. Ia tidak peduli negeri atau kaumnya akan ditimpa bencana. Baginya, yang terpenting, adalah bagaimana menyelematkan diri dan kepentingan-kepentingannya sendiri.
Lalu, apa yang harus dilakukan bila kita menjumpai pemimpin seperti tipe ini?
Dalam al-Qur’an dan hadis Nabi disebut bahwa tugas utama dari umat adalah menginggatkan dan terus mengingatkan. Jangan diam, karena mendiamkan kedurhakaan adalah juga kedurhakaan. Artinya, bila kita mendiamkan kedurhakaan, berarti kita ikut melakukan kedurhakaan, sehingga cukup jugalah syarat untuk mendapat hukuman Allah bersama dengan para pendurhaka yang lainnya. Mengingatkan adalah ikhtiar, dan bersabar dalam mengingatkan adalah bagian dari jihad di jalan Allah. Tidak boleh hilang kesabaran dalam mengingatkan, karena itu berarti kita keluar dari sabar. Keluar dari sabar sama artinya tidak sabar lagi. Bila sudah tidak tergolong lagi kepada orang yang sabar, maka berarti tidak tergolong lagi kepada orang yang disayangi oleh Allah. Dan, bila Allah tidak sayang lagi, maka azab Allah adalah menjadi keniscayaan. ***
*Penulis adalah Guru Besar UIN Suska Riau dan Ketua Orwil ICMI Provinsi Riau