Terkait Aturan Pidana Terhadap Penghina Presiden, Ahli Sebut Pengekangan Demokrasi
RIAUMANDIRI.ID, PEKANBARU - LBH Pekanbaru dan Legal Culture Institute menilai aturan terbaru yang tertuang dalam Telegram Kapolri Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 yang ditandatangani Kepala Bareskrim Polri Listyo Sigit Prabowo tertanggal 4 April 2020 tentang pemidanaan terhadap penghina pejabat dan presiden termasuk pengekangan nilai-nilai demokrasi.
"Sangat (merampas kemerdekaan berpendapat). Surat edaran tersebut membuktikan pemerintah antikritik dan antidemokrasi. Saat wabah Covid-19 ini seharusnya pemerintah sadar telah lambat melakukan pencegahan dan pananganan. Kebijakan PSBB itu sebenarnya telah dilakukan pemerintah daerah lainnya yaitu menghentikan aktivitas pendidikan, dll. Jadi seharusnya, kan sudah karantina wilayah atau nasional. Bukan PSBB lagi," ujar Direktur YLBHI-LBH Pekanbaru, Andi Wijaya, Rabu (8/4/2020) kepada Riaumandiri.id.
Surat telegram tersebut dikeluarkan dalam rangka penanganan masa pencegahan pandemi Covid-19 oleh Reskrim sebagai pelaksana dan fungsinya terkait situasi serta opini di ruang siber dan pelaksanaan hukum tindak pidana siber.
Dilansir dari Kompas.com, Surat Telegram Kapolri bernomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 tersebut dikonfirmasi oleh Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Argo Yuwono.
"Bentuk pelanggaran atau kejahatan serta masalah yang mungkin terjadi dalam perkembangan situasi serta opini di ruang siber: penghinaan kepada penguasa/Presiden dan pejabat pemerintah sebagaimana dimaksud Pasal 207 KUHP," tulis surat telegram tersebut.
Dalam pasal 207 KUHP, penghinaan tersebut dapat dipidana dan dipenjara paling lama 1 tahun 6 bulan.
"Harus dipahami bahwa terkait lese majeste dan haatzai artikelen (penghinaan pimpinan negara dan pasal kebencian) telah diputuskan Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 tentang hapusnya pasal 134, 136bis dan 137 KUHP dan putusan Nomor 6/PUU-V/2007 tentang Pasal 154 dan 155 KUHP yang akrab disebut hatzaai artikelen itu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi. Pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam KUHP karena menghalang-halangi kemerdekaan menyatakan pikiran dan sikap serta pendapat sehingga bertentangan dengan Pasal 28 dan 28 E Ayat (2) dan (3)," ungkap Direktur Legal Culture Institute sekaligus Dosen UIR, M. Rizqi Azmi.
"Presiden harus lebih bijaksana dalam mengambil kebijakan yang beresiko terhadap maju atau mundurnya demokrasi. Jangan sampai presiden dianggap tidak becus dalam menyelenggarakan pemerintahan dikarenakan "baper" dengan segala kritikan rakyat," tutup Azmi.
Reporter: M. Ihsan Yurin