Kesetiakawanan Solusi Masalah Bangsa
Mengacu pada referensi resmi, kesetiakawanan sosial adalah sikap dan perilaku yang dilandasi pengertian kesadaran tanggung-jawab dan partisipasi sosial untuk mengatasi dan menanggulangi berbagai masalah sosial. Rasa solidaritas sosial tersebut muncul bukan artifisal. Tetapi merupakan nurani bangsa Indonesia yang telah terinstalasi. Dari sikap dan perilaku yang dilandasi pengertian, kesadaran, keyakinan tanggung jawab dan partisipasi sosial sesuai dengan kemampuan. Dan ini tergambar pada nilai budaya masyarakat yang beragam.
Meski definisi kesetiakawanan tidak cukup sulit dipahami, namun pada realitanya juga tidak mudah diimplementasikan. Terlebih di era dimana privasi dan individualistik dipuja dan dilayani lewat berbagai cara dalam keseharian kita (teknologi, gaya hidup dan sebagainya), secara tidak langsung menyebabkan pergeseran budaya. Tidaklah mengherankan, bila melihat kini, kita cenderung pragmatis dalam memandang setiap persoalan.
Fenomena ini jelas mengancam. Apalagi nilai kesetiakawanan dihasilkan dari kebiasaan (habbits) yang diwariskan dalam DNA masyarakat Indonesia. Mengerucutnya arti komunitas dan lingkungan, diyakini semakin memperparah. Lihatlah. Betapa lingkungan telah banyak absen dalam mengontrol perilaku, padahal dulunya proaktif. Maka, hadirlah kemudian segudang persoalan sosial: kenakalan remaja yang keterlaluan, gesekan sosial akibat perbedaan, kekerasan seksual dan perilaku menyimpang lainnya.
Anomali Sudah barang tentu ini anomali dalam memori masyarakat kita. Dalam sebuah artikel, seorang ilmuwan sosial, Francis Fukuyama pernah mewanti-wanti bahwa bila perangkat dan penerapan nilai-nilai yang mengikat masyarakat terus merosot, alamat pertanda telah terjadi “bencana besar” (great disruption) dalam tatanan masyarakat tersebut.
Adapun ikatan yang dimaksud berupa kepercayaan, yang mana elemen mendasar dalam interaksi sosial dan kebersamaan. Kehilangan kepercayaan dalam ikatan sama saja akhir dari masyarakat, yang pembentukan didasari niat untuk menyeragamkan visi menuju suatu tujuan.
Kendati semangat itu dirasa sudah mulai luntur, namun kita juga tak boleh patah arang untuk kembali membangkitkan hal tersebut. Bila kembali ke spirit kesetiakawanan, maka fokus pembenahan bukan pada seremoni dan kampanye kata-kata yang positif saja. Namun juga pada aksi konkrit dan menyentuh inti persoalan yang menyebabkan munculnya gejala sosial seperti disinggung di atas.
Dari semua pendekatan, kecondongan kepada bahasa kebijakan regulasi jauh dirasa lebih konkrit sebagai pemicu dalam rangka memupuk nilai-nilai kesetiakawanan sosial. Sebab, bila konsentrasinya hanya berupa himbauan dan ajakan, diyakini tidak akan banyak merubah peta keadaan. Perlu disentuh perangkat dalam realitas sehari-hari, yang diyakini bernilai signifikan. Diantaranya dengan memperhatikan keluarga dan instusi sosial kemasyarakatan.
Pertama, menyoal keluarga, tidak bisa dipungkiri bahwa unit lingkungan terkecil dalam tatanan masyarakat ini dapat membawa perubahan bagi lingkungan lebih luas. Ingatlah kalimat bijak, keluarga miniatur negara. Tingkat kendali pribadi di ruang publik berbanding lurus denga seberapanyaman keluarga memberi kenyamanan bagi pengembangan diri.
Berkaca pada aksioma ini, maka sudah seharusnya unit ini dilindungi secara sistematis. Apalagi konteks kekinian, pondasi keluarga semakin rapuh akibat semakin inklusifnya cara pandang tentang keluarga modern. Media memang mengambil banyak peran terhadap perubahan pola ini lewat informasi public figure yang kebanyakan diekspos di luar nilai kepantasan.
Perceraian pun, selaih gaya hidup hedon dan egois, akhirnya dijadikan tren. Kita patut merasa risih. Di saat banyak negara maju dengan sejarah buruk tentang minimnya perhatian mereka terhadap keluarga, yang belakangan mengubah pendekatan dan kebijakan mereka terhadap keluarga.
Lewat pemberian insentif secara mewah terhadap pasangan yang berkeluarga, konseling dan bimbingan secara gratis bagi pasangan yang bermasalah dan kebijakan serupa lain yang diharapkan dapat memulihkan peran keluarga supaya tidak mendatangkan ancaman bagi masa depan negara, kita malah seperti mengulangi kesalahan yang telah mereka buat.
Kedua, disamping pendekatan keluarga, instusi sosial kemasyarakatan juga sepantasnya menjadi bagian penting dalam setiap bahasa kebijakan dan regulasi. Lembaga adat, keagamaan dan sejenisnya sebagai unit yang sudah terlebih dahulu eksis dan berkontribusi besar bagi terbentuknya karakter manusia Indonesia, sejatinya mitra pemerintah dalam mengelola pembangunan.
Pemerintah boleh saja mengandalkan jejaring birokrasi hingga ke level terkecil untuk mencapai keberhasilan pembangunan. Namun apakah capaian tersebut akan menyentuh manusianya, ini masih tanda tanya besar? Karena ada peran institusi sosial di sini yang tidak bisa diperankan oleh perangkat birokrasi.
Bicara konteks lokal Provinsi Riau, kita patut bersyukur dengan adanya Peraturan Daerah tentang Lembaga Adat Melayu. Keberadaan Perda ini diharapkan dapat bicara lebih banyak mengangkat kearifan lokal sebagai pelumas pembangunan. Namun itu lagi-lagi kembali ke itikad pemerintah. Semoga ini tidak sekedar basa-basi, namun benar-benar untuk mengaktifkan modal sosial sebagai organ penyelenggaraan pemerintahan.
Berdasarkan pemaparan tadi, besar harapan ke depan kebijakan-kebijakan pemerintah berada di jalur tepat menjaga supaya kedua unit tersebut terus berperan sebagaimana mestinya dalam pembangunan karakter bangsa.***
Oleh Hardianto, SE
Penulis adalah anggota DPRD Provinsi Riau.