Penelitian Ahli Terkait Droplet Bersin dan Batuk Gegerkan Dunia Medis
RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA – Peneliti dari Institut Teknologi Massachusetts Amerika Serikat (AS) Lydia Bourouiba menyatakan pernafasan dapat menghasilkan droplet (percikan cairan tubuh) yang dapat 'melayang' hingga jarak 27 kaki.
Bourouiba menilai temuannya membuat kebijakan jarak sosial tiga hingga enam kaki tidak cukup untuk mencegah penularan dan penyebaran virus corona yang menyebabkan Covid-19. Hal ini menggemparkan dunia medis yang selama ini menyebut jarak aman adalah 2-3 meter.
Bourouiba mengaku telah meneliti dinamika pernafasan, seperti batuk dan bersin selama bertahun-tahun di Laboratorium Transmisi Penyakit Dinamika Fluida. Dari hasil penelitian itu, dia menyebut pernafasan menyebabkan droplet yang dapat berjalan hingga 27 kaki atau 8 meter.
"Ada urgensi dalam merevisi pedoman yang saat ini diberikan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) tentang perlunya peralatan pelindung, terutama untuk pekerja layanan kesehatan garis depan," kata Bourouiba kepada USA Today melansir MSN.
WHO dan CDC diketahui meminta masyarakat menjaga jarak tiga hingga enam kaki untuk mencegah penularan Covid-19 selama pandemi.
Dalam penelitiannya, Bourouiba menyerukan langkah-langkah yang lebih baik untuk melindungi petugas kesehatan yang jauh lebih berpotensi tertular dari pasien positif yang batuk atau bersin.
Dia mengatakan pedoman saat ini kurang tepat karena didasarkan pada penularan virus akibat droplet yang hanya bisa menempuh jarak tertentu.
Dalam sebuah artikel Jurnal American Medical Association, Bourouiba mengatakan puncak kecepatan pernafasan dapat mencapai 33 hingga 100 kaki per detik dan masker bedah dan N95 yang saat ini digunakan tidak diuji untuk karakteristik potensial dari emisi pernapasan tersebut.
Bourouiba berkata gagasan bahwa droplet yang menabrak bagian depan masker tidak didasarkan pada bukti yang ditemukan dalam penelitiannya dan juga tidak didasarkan pada bukti yang ada tentang transmisi Covid-19.
Bourouiba berpendapat bahwa droplet yang dapat membawa tetesan dari semua ukuran dipancarkan ketika seseorang batuk, bersin, atau menghembuskan napas. Droplet hanya sedikit 'diredakan' ketika saat bersin atau batuk ditutup oleh siku seseorang.
"Dalam hal bagaimana pernafasan dipancarkan, titik kunci yang telah kami tunjukkan adalah bahwa ada droplet yang membawa tetesan segala jenis ukuran, bukan 'besar' versus 'kecil' atau 'tetesan' versus 'aerosol'," katanya.
Terkait hal itu, WHO mengaku sejauh ini masih merujuk pada ringkasan ilmiah terbaru tentang metode penularan yang merekomendasikan bawah droplet dan kontak harus diperhatikan oleh orang-orang yang merawat pasien Covid-19.
"WHO dengan hati-hati memonitor bukti yang muncul tentang topik kritis ini dan akan memperbarui temuan ilmiah (soal corona) ketika lebih banyak informasi tersedia," kata WHO.
Melansir Fox News, Bourouiba mengatakan bahwa pernafasan, bersin, dan batuk tidak hanya terdiri dari tetesan mukosa yang mengikuti lintasan emisi semi-balistik jarak pendek. Namun, dia berkata pernafasan, bersin, dan batuk dibuat dari gas turbulen multifasa (embusan) droplet yang memikat udara sekitar.
"Mengingat berbagai kombinasi fisiologi pasien individu dan kondisi lingkungan, seperti kelembaban dan suhu, droplet dan muatan tetesan yang mengandung patogen dari semua ukuran dapat menempuh 23 hingga 27 kaki (7 hingga 8 meter)," kaya Bourouiba.
Kendati demikian, Anthony Fauci, Direktur Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular mengaku tidak sepakat dengan penelitian tersebut. Dia menilai jarak jangkau itu hanya bisa terjadi jika seseorang bersin dengan sangat kuat.