Penelitian Terbaru Ungkap Tes Corona Lebih Efektif dengan Uji Darah
RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA – Penelitian dari Fakultas Kedokteran Icahn New York menyatakan tes darah dapat memberi tahu seberapa luas penyebaran Covid-19. Penelitian menyebut tes darah dapat melihat apakah seseorang pernah terinfeksi virus corona SARS-COV-2.
Dalam makalah penelitian disebutkan tes tetap bisa menunjukkan hal tersebut meski seseorang tidak memiliki gejala. Tes darah atau tes serologikal untuk Covid-19 ini sama dengan tes yang dilakukan untuk mendeteksi seseorang terinfeksi HIV. Tes itu dapat menunjukkan apakah sistem kekebalan seseorang pernah mengalami kontak dengan virus atau tidak.
Tim Icahn yang dipimpin oleh ahli virologi Florian Krammer mengatakan tes baru ini juga dapat membantu menemukan orang yang sembuh usai terinfeksi Covid-19. Ketika sembuh, mereka diharapkan dapat menyumbangkan darahnya yang kaya antibodi kepada orang-orang di ICU agar kekebalan tubuhnya meningkat.
Mereka yang telah kebal, misalnya petugas medis juga dapat dengan aman bergegas melakukan tugas-tugas paling berisiko, seperti menginkubasi seseorang yang positif Covid-19 tanpa khawatir akan terinfeksi.
Cara pengetesan lewat antibodi ini dinilai lebih cepat dibandingkan PCR. Sebeb, mereka telah terpapar dapat diketahui hanya dengan melihat apakah darahnya penuh dengan antibodi terhadap virus Covid-19.
"Tes PCR yang saat ini dilakukan hanya memberitahu apakah seseorang saat ini memiliki virus itu atau tidak," jelas Dr Meru Sheel, ahli epidemologi dan peneliti di Universitas Nasional Australia.
"Kelemahannya, tes ini tidak memberitahu apakah seseorang pernah terinfeksi, telah pulih, dan apakah imunitasnya kebal atau tidak."
Menurut Dr Sheel, tes serologi akan membantu pemahaman di tingkat populasi. Berapa banyak orang yang telah terpapar virus ini, telah pulih, dan apakah ada populasi yang tidak imun dengan virus tersebut, demikian seperti dikutip ABC.
Pusat ilmiah lain, termasuk di Singapura juga mengaku memiliki alat tes antibodi seperti yang dimiliki beberapa perusahaan AS yang menjual produk kepada para peneliti. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS juga mengatakan sedang mengembangkannya.
Untuk membuat versi mereka, tim Icahn menghasilkan salinan spike protein di permukaan virus. Protein itu dinilai sangat imunogenik karena membuat antibodi yang bisa menguncinya.
Dalam penelitiannya, tim memeriksa sampel darah yang dikumpulkan sebelum Covid-19 melanda berbagai negara, serta darah dari tiga kasus virus corona yang sebenarnya. Menurut Krammer, tes ini dapat mengambil respons tubuh terhadap infeksi paling cepat tiga hari setelah gejala onset.
Untuk mempelajari tingkat infeksi yang sebenarnya, peneliti akan melakukan survei serologis dengan melakukan tes darah terhadap sebagian besar orang di daerah wabah Covid-19. Survei itu mungkin memberi tahu mereka dengan tepat berapa banyak kasus yang tidak diketahui.
Perlu beberapa saat sebelum para ilmuwan mengetahui jawabannya. Sebab, Kramer mengatakan upaya untuk melakukan survei yang lebih luas baru saja dimulai.
Tes darah untuk mendeteksi luas sebaran virus
Melansir Stat News, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS sedang mengembangkan tes yang dapat memberikan informasi penting kepada pejabat kesehatan masyarakat tentang luasnya penyebaran virus corona di AS, bahkan di dengan gejala ringan atau tanpa gejala.
Tes serologis yang berbeda dari yang digunakan untuk mendiagnosis infeksi aktif diklaim akan memungkinkan para peneliti untuk menguji darah orang-orang yang tidak dikonfirmasi kasus Covid-19 di komunitas tempat virus menyebar. Tes akan dirancang untuk mencari tanda-tanda bahwa orang telah memiliki kekebalan setelah terinfeksi virus.
Melansir Technology Review, gambaran yang akurat tentang berapa banyak orang yang telah terinfeksi Covid-19 bisa diketahui lewat motode tes darah. Selain itu, jumlah orang yang terinfeksi bisa menjadi tolak ukur seberapa dalam masyarakat perlu mengisolasi dirinya.
Virus corona baru diketahui telah menewaskan hampir 9 ribu orang dari 221.891 kasus yang dikonfirmasi. Dengan demikian, kasus kematian akibat virus ini sekitar 4 persen.
Dengan demikian, tingkat kematian akibat virus ini sangat rendah. Namun, sulitnya memprediksi dengan akurat berapa mematikan virus ini lantaran para ahli tak tahu berapa banyak orang yang telah terinfeksi tanpa gejala, sehingga mereka tak pergi ke rumah sakit. Sehingga, pemodelan saat inj menjadi kurang akurat.
Peneliti dari Universitas Stanford, John Loannidis dalam publikasinya berpendapat bahwa tingkat kematian akibat Covid-19 sebenarnya bisa kurang dari flu musiman.
Berdasarkan laporan The New York Times, diperkirakan hanya 1 dari 5 hingga 1 dari 10 infeksi yang benar-benar telah terdata.