Ruangan Kurang, Rektor UIN: Kita Pakai e-Learning, di Kelas Hanya Semester 1-3 Saja
RIAUMANDIRI.ID, PEKANBARU - Rektor UIN Suska Riau, Akhmad Mujahidin menanggapi pertanyaan Rian Afandi, salah satu peserta aksi demo pada Kamis (5/3/2020) kemarin, soal kurangnya ruang kelas yang memaksa mahasiswa, terutama mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi, berkuliah di ruang kelas fakultas lain.
"Tahun ini Pak Rektor sendiri yang tanda tangan, UIN mau nambah kuota mahasiswa baru sebanyak 10.460 orang. Kebayang enggak gimana banyaknya?" ujar Afandi.
"Saya dari Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Pak. Kami cuma punya satu gedung kelas. Gara-gara itu, kami pernah masuk kuliah jam 6 pagi. Bahkan kami pernah kuliah di ruang kelas Fakultas Peternakan, Fakultas Tarbiah, Islamic Center, Fakultas Ekonomi, juga di Masjid. Ke depannya enggak tahulah, mungkin di kandang Fakultas Peternakan lagi. Pokoknya, kalau ada mahasiswa bertebaran di fakultas lain, anak FDK lah itu," tambahnya.
Ditemui di tempat berbeda, Mujahidin berpendapat bahwa kini ruang kelas bukan lagi halangan. Ia mengaku sedang mengembangkan sistem e-learning agar mahasiswa yang fokus di kelas hanya mahasiswa semester 1 sampai 3 saja.
"Di kampus merdeka sekarang, ruangan tidak jadi masalah. Lagipula hampir semua orang ingin masuk perguruan tinggi negeri, bukan swasta. Dalam setahun, kita punya pendaftar 65.000 orang. Kita cuma terima 5000. Tahun ini kita tambah kuota jadi 10.000. Kenapa? Soalnya masyarakat juga banyak protes. Ada apa kok kuotanya cuma segitu?" ungkapnya kepada wartawan, Jumat (6/3/2020).
"Makanya sekarang, kita lagi mengembangkan e-learning system. Jadi itu bisa belajar secara elektronik. Jadi ruangan itu tidak masalah. Pada akhirnya, nanti yang dikasih ruangan belajar hanya anak semester 1 sampai 3 saja. Semester selanjutnya kita pakai e-learning," tambahnya.
Nur Rohim Laras, salah satu mahasiswi FDK mengaku kaget dengan keputusan rektor. Sebab menurutnya, jangankan ditambah, kondisi tahun ini saja sudah sangat tidak kondusif. Jadwal masuk jam 6 pagi dan jam 6 sore, bahkan banyak jadwal yang digabung sebab tidak ada kelas membuatnya kelimpungan menghadapi kuliahnya.
"Anjrit! Enggak kondisif kalilah. Yang ini aja banyak pertemuan keteteran gara-gara enggak ada kelaslah, kesoreanlah. Jadinya satu kali pertemuan bisa tanda tangan absen dua sampai tiga kali," ungkapnya kepada Riaumandiri.id, Jumat (6/3/2020).
"Kampus kalau mau nerima banyak-banyak, ya harus punya komitmen bikin fasilitas sesuai standar. Memadai enggak kalau mau nampung sebanyak itu? Kan ada sebab akibatnya. Kalau solusinya cuma e-learning tapi mahasiswa jadi enggak teratur, enggak bisa berkembang, ya buat apa?" tambahnya.
Selain Laras, Razhaq Pahlevi juga bingung dengan keputusan itu. Sebab menurutnya kalau mau menggunakan sistem e-learning, maka tidak ada bedanya antara universitas biasa dan universitas terbuka.
"Lah, kalau mau pakai e-learning apa bedanya sama UT? Dan kalau UT itu biaya kuliahnya murah, padahal mereka swasta, sebab ya memang mereka kuliahnya online gitu. Ya kalau mau e-learning, ya UKT harus diturunin lagi. Kan mahasiswa jadi enggak menikmati fasilitas yang ada," ungkap Pahlevi.
"Tapi aneh juga, sih, jadinya," tutup Pahlevi menanggapi ide e-learning.
Reporter: M. Ihsan Yurin